"Pada Pilpres 2024, yang akan terjadi adalah capres atau cawapres akan adu gagasan untuk melanjutkan program yang telah digagas oleh presiden sebelumnya. Dengan demikian, maka kesinambungan pembangunan nasional akan berlanjut," kata Idris dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Oleh karena itu, Idris menyatakan pendapat Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mengatakan elektabilitas tinggi tidak menjadi jaminan bisa menjadi capres, merupakan opini normatif.
"Saatnya kita meninggalkan pola lama yang mengandalkan elektabilitas tinggi capres dan cawapres. Dengan demikian, jika calonnya adalah kader partai, maka paling tidak akan sangat memahami platform perjuangan partai maupun gabungan koalisi partai," jelasnya.
Baca juga: Pengamat: Jokowi hati-hati soal dukungan relawan bagi calon presiden
Terkait dengan capres dan cawapres yang harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, Idris Laena mengatakan dalam undang-undang memang telah mengatur hal itu.
"Bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi capres atau cawapres jika tidak diusung oleh partai politik?" imbuhnya.
Dia menilai partai politik juga sudah mulai menyadari pentingnya mendorong kader sendiri untuk dimajukan sebagai bakal capres maupun cawapres.
Dengan demikian, muncul fenomena untuk membentuk beberapa poros koalisi, misalnya tiga atau empat poros yang memberi ruang bagi kader-kader partai sebagai capres atau cawapres pada Pilpres 2024.
Menurut dia, dengan adanya tiga atau empat poros capres atau cawapres, maka dengan sendirinya dapat menghindari polarisasi.
"Insya Allah Pilpres 2024 akan terhindar dari terbelahnya anak-anak bangsa," ujar Idris.
Baca juga: Pengamat nilai partai perlu usung capres alternatif
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022