• Beranda
  • Berita
  • Diagnosis autisme bisa dimulai sejak usia anak setahun

Diagnosis autisme bisa dimulai sejak usia anak setahun

8 September 2022 19:33 WIB
Diagnosis autisme bisa dimulai sejak usia anak setahun
Tangkapan layar dokter spesialis anak konsultan neurologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K) saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk "Anak Terlambat Bicara, Speech Delay atau Autisme? Kupas Tuntas Autisme Pada Anak”, yang digelar Tentang Anak, Kamis (8/9/2022). (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)

Jadi kalau ke dokter harus minta diskrining perkembangan anak

Dokter spesialis anak konsultan neurologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K) menungkapkan bahwa diagnosis autisme dapat dimulai sejak anak berusia setahun, bukan tiga tahun seperti pendapat sebagian orang.

Demi menegakkan diagnosis, tahapan yang perlu dilalui anak yakni menjalani skrining perkembangan anak normal atau nipissing.

"Jadi kalau ke dokter harus minta diskrining perkembangan anak. Dokter bisa melakukannya. Dengan skrining biasa sudah tertangkap yang aneh-aneh," ujar dia dalam sebuah webinar tentang autisme, Kamis.

Dokter bisa menggunakan ESAT (Early Screening Autistic Trait) pada anak berusia sekitar satu tahun untuk mencari kecurigaan terhadap gejala ASD atau autism spectrum disorder, sementara pada anak berusia 18-30 bulan bisa menggunakan M-CHAT.

Baca juga: Orang tua ujung tombak pendampingan anak autisme saat pandemi

Menurut Prof Hardiono, gejala autisme sudah mulai terlihat sejak usia anak kurang dari satu tahun atau bisa juga anak semula normal tetapi tiba-tiba pada usia 1-1,5 tahun berubah menjadi diam dan cuek.

Mengenai gejalanya, dapat meliputi gangguan komunikasi dan interaksi sosial yang ditandai mimik datar atau anak sering tidak bereaksi, kontak mata kurang, cuek, tidak bermain dengan anak lain, tidak berbagi, tidak ada respon emosi timbal balik dan tidak ada pretend play atau bermain pura-pura.

Gangguan komunikasi verbal dan nonverbal meliputi anak tidak bicara, bicara terlambat, aneh dan sulit dimengerti, kemudian ekolalia yakni mengulang kata-kata.

Anak juga mengalami gangguan memulai dan memelihara interaksi sosial yang ditandai dengan dia tidak memulai interaksi, menjawab sekadarnya dan tidak bisa berinteraksi untuk waktu yang lama.

Baca juga: Orang tua wajib dampingi anak autisme akses gawai di era digital

Minat anak dengan autisme biasanya terbatas dan terfokus pada hal kecil seperti memutar roda, bereaksi berlebihan atau kurang terhadap rangsang sensoris, misalnya anak tutup telinga, jalannya jinjit, tak mau disentuh dan hiper atau hiporeaktif.

Selain itu, orang tua juga harus mengenali sejumlah tanda bahaya atau red flags. Tanda ini antara lain anak berusia 12 bulan tidak melakukan babbling atau ocehan yang tersusun dari suara dari huruf vokal dan konsonan, tidak menunjuk sesuatu yang jauh, tidak mengeluarkan kata-kata yang berarti pada umur dua tahun seperti "mama" dan "papa" dan tidak menoleh saat dipanggil namanya dari belakang atau samping pada usia 6 bulan.

"(Anak tidak menoleh saat dipanggil) ini periksa ke dokter bisa dia gangguan pendengaran atau mulai ada gejala autis," tutur Prof Hardiono.

Dia menambahkan, bila anak sudah menunjukkan gejala walau belum bisa didiagnosis sebagai autis harus segera mendapatkan terapi karena terapinya akan berlangsung lebih mudah dan hasilnya jauh lebih bagus.

Baca juga: Mengenal Diet Special Needs, makanan sehat bagi penyintas autisme

Baca juga: Orang dengan autisme capai potensi maksimal dengan lingkungan kondusif

Baca juga: Pentingnya orang tua tahu ekspektasi perkembangan anak autisme

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022