Dua saksi tersebut, yakni mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna dan purnawirawan TNI Supriyanto Basuki.
"Informasi yang kami peroleh, keduanya tidak hadir. Kami akan jadwal ulang dan mengimbau agar para saksi kooperatif hadir sesuai jadwal panggilan yang suratnya segera kami kirimkan," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap keduanya di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/9) untuk tersangka Irfan Kurnia Saleh (IKS) selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG).
"Keterangan kedua saksi ini dibutuhkan dalam proses penyidikan sehingga menjadi lebih jelasnya perbuatan para tersangka," ucap Ali.
KPK telah menahan Irfan pada Selasa (24/5) pasca ditetapkan sebagai tersangka pada Juni 2017.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan pada Mei 2015, Irfan bersama Lorenzo Pariani (LP), sebagai salah satu pegawai perusahaan AW, menemui Mohammad Syafei (MS) yang saat itu masih menjabat sebagai asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI AU dengan pangkat marsekal muda TNI (bintang dua) di Markas Besar TNI AU di Cilangkap, Jakarta Timur.
Baca juga: Alasan Presiden tak setuju beli heli AW101
Baca juga: KPK panggil mantan Kasau sebagai saksi kasus helikopter AW-101
Dalam pertemuan itu, terdapat pembahasan di antaranya terkait pengadaan helikopter AW-101 dengan konfigurasi VIP/VVIP TNI AU. Di lingkungan TNI AU, hanya ada satu skuadron udara yang memiliki armada dalam konfigurasi VIP/VVIP, yaitu Skuadron Udara 17 VVIP yang kemudian organnya dimekarkan menjadi Skuadron Udara 45 VVIP (khusus helikopter angkut kepresidenan).
IKS yang juga menjadi salah satu agen AW diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS, di mana harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp514,5 miliar).
Selanjutnya pada November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap pra-kualifikasi dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek.
Hal itu tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung.
Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus, yang hanya diikuti dua perusahaan.
Dalam tahapan lelang itu, KPK menduga panitia lelang tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan. Adapun harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran pada 2015, yakni senilai 56,4 juta dolar AS, dan disetujui pejabat pembuat komitmen (PPK).
IKS juga diduga aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy (FA) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK).
Baca juga: KPK ungkap modus tersangka dalam pengadaan Helikopter Angkut AW-101
Baca juga: KPK blokir rekening Rp139,4 miliar kasus helikopter AW-101 Merlin
Terkait persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, diduga Irfan menyiapkan dan mengkondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang dan disetujui PPK.
Untuk proses pembayaran yang diterima IKS diduga telah 100 persen. Adapun faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
KPK menduga akibat perbuatan tersangka Irfan mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022