• Beranda
  • Berita
  • Riset: Bahan bakar nabati salah satu strategi kurangi emisi karbon

Riset: Bahan bakar nabati salah satu strategi kurangi emisi karbon

22 September 2022 13:10 WIB
Riset: Bahan bakar nabati salah satu strategi kurangi emisi karbon
Buah nyamplung yang sudah matang dan siap diolah menjadi bahan bakar nabati ataupun bahan untuk kosmetik dan obat. FOTO ANTARA/Suriani Mappong

Bahan bakar nabati dapat terbuat dari berbagai macam bahan baku, mulai dari kelapa sawit yang sering digunakan di Indonesia hingga kedelai dan biji bunga matahari

Yayasan Madani Berkelanjutan mengungkapkan hasil riset terbarunya yang menyatakan bahan bakar nabati (BBN) menjadi salah satu strategi untuk mengurangi emisi karbon karena rendah emisi gas buang.

"Secara umum emisi gas buang biofuel ini lebih rendah ketimbang bahan bakar minyak. Namun, hal yang harus menjadi catatan adalah jumlah emisi itu juga akan berbeda antara bahan baku," kata peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan Kukuh Ugie Sembodho dalam peluncuran laporan sintesis bahan bakar nabati yang dipantau di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan bahan bakar nabati dapat terbuat dari berbagai macam bahan baku, mulai dari kelapa sawit yang sering digunakan di Indonesia hingga kedelai dan biji bunga matahari.

Bahan baku yang beragam itu, kata dia, memberikan nilai lebih terhadap bahan bakar nabati dibandingkan bahan bakar fosil.

Kukuh mengemukakan bahan bakar nabati yang terbuat dari tebu hanya menghasilkan gas buang 33,6 gram karbon dioksida per megajoules (gCO2/MJ) dan penghematan energi 150-200 gigajoule per hektare (GJ/hectare).

Kemudian, bahan bakar nabati yang terbuat dari biji bunga matahari menghasilkan gas buang 82,5 gCO2/MJ dan penghematan energi 25-70 GJ/hectare. Adapun bahan bakar nabati kelapa sawit menghasilkan gas buang 104,6 gCO2/MJ dan penghematan energi sebesar 17,5 sampai 22,5 GJ/hectare.

Baca juga: Madani: Komoditi untuk bahan bakar nabati perlu didiversifikasi

Baca juga: Selayar memiliki potensi BBN sumber enegi hijau


Sedangkan, bahan bakar fosil jenis bensin menghasilkan gas buang sebanyak 96,9 gCO2/MJ dan solar 82,3 gCO2/MJ.

"Kalau kita mau mengukur emisi biofuel kita tidak hanya bisa mengukur dari gas buangnya saja, bukan hanya pembakaran saja, tapi juga kita harus melihat keseluruhan prosesnya," katanya.

Ia menyampaikan bahwa bahan bakar nabati memiliki proses yang panjang mulai dari perkebunan hingga menjadi bahan bakar alternatif. Pada sektor hulu, perkebunan bahan baku biofuel harus dikelola dengan bijak agar tidak mempengaruhi total emisi bahan bakar nabati.

Proses panjang itu terus bergerak hingga ke tahap pengolahan, pencampuran, hingga menjadi bahan bakar nabati yang siap digunakan oleh konsumen.

Ia menyarankan agar intensifikasi produksi menjadi upaya utama untuk memaksimalkan bahan baku, sehingga tidak menambah luas lahan untuk penanaman komoditas biofuel.

"Banyak sekali tahapnya di mana setiap tahap itu punya kontribusinya sendiri terhadap emisi," demikian Kukuh Ugie Sembodho.

Baca juga: Tata kelola bahan bakar nabati berkontribusi selamatkan hutan

Baca juga: Indonesia manfaatkan sawit dan kemiri untuk reduksi energi fosil

Baca juga: RI dorong biofuel demi capai transisi energi yang adil dan merata

Baca juga: Pengamat menilai kelapa sawit tak lagi layak untuk biodiesel

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022