mencegah terjadinya kekerdilan atau stunting pada anak harus dilakukan memberikan penganggaran yang terarah pada tiap program percepatan sambil memfasilitasi peningkatan kompetensi tenaga kesehatan.
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) menyatakan kebijakan dan program dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2012 terkait pemberian ASI eksklusif perlu dievaluasi untuk meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan kawal ibu menyusui.
“PP 33/2012 tentang ASI eksklusif sudah jelas, membahas tentang 10 langkah menuju keberhasilan menyusui. Di situ jelas bahwa bayi harus Inisiasi Menyusui Dini (IMD) tidak boleh dipisah dari ibunya,” kata Ketua Umum AIMI Nia Umar dalam Vodcast Waktu Indonesia Berencana BKKBN yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Nia menuturkan dalam mencegah terjadinya kekerdilan atau stunting pada anak, hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan penganggaran yang terarah pada tiap program percepatan sambil memfasilitasi peningkatan kompetensi tenaga kesehatan.
Sebab di Indonesia, tidak semua tenaga kesehatan seperti bidan benar-benar memiliki kemampuan untuk mengedukasi ibu cara menyusui yang baik dan benar. Dalam PP tersebut telah ditekankan, setiap bayi yang baru lahir harus segera melakukan IMD dan harus mendapatkan perawatan bersama dengan ibunya.
Namun dalam beberapa kasus yang ditemukan AIMI di layanan persalinan, masih ada fasilitas kesehatan yang memisahkan ibu dengan sang bayi begitu lahir. Padahal bila tenaga kesehatan menilik PP itu dengan jelas, terdapat konsekuensi dan sanksi bila tidak menjalankan aturan tersebut.
“Jadi ini harusnya dimonitor dan dievaluasi, pastikan dianggarkan ada pelatihan-pelatihannya untuk tenaga kesehatan supaya semua bidan punya kompetensi itu. Sama dengan kemampuan yang dimiliki pasang spiral, semua bidan harus juga punya kompetensi mengajarkan ibu-ibu menunjukkan tanda bayi melekat dengan baik saat menyusui,” ujarnya.
Menurut Nia, kualitas dan kemampuan bidan di Indonesia dapat lebih ditingkatkan apabila pemerintah banyak memberikan pelatihan, supaya setiap edukasi yang sampai ke masyarakat dapat diterima secara baik dan benar.
Sebab AIMI turut menerima laporan, bila terdapat bidan yang membenarkan isu dalam masyarakat terkait dengan adanya rasa sakit saat menyusui selain luka pada payudara. Seharusnya bidan menjadi pihak yang paling memahami cara menyusui yang benar.
“Kalau ada orang yang berkata menyusui bayi itu sakit itu tandanya cara menyusuinya salah. Menyusui harusnya tidak sakit dan seharusnya nyaman untuk ibunya. Kalaupun sakit, itu sakit hanya sebentar lalu nyerinya hilang,” ucapnya.
“Seringkali tenaga kesehatan tidak paham bahkan ibu bidan. Dia merasakan menyusui sakit, jadi dia berkata pada pasien itu memang sakit karena dirinya juga seperti itu. Ibu bidan juga tidak tahu karena tidak diajarkan kompetensinya tidak diajarkan seperti memasangkan spiral,” tambahnya.
Nia menekankan bahwa semua tenaga kesehatan terutama bidan merupakan ujung tombak dari pengentasan permasalahan stunting dan menyukseskan pemberian ASI eksklusif pada bayi.
Dengan demikian dirinya berharap supaya peraturan tersebut dievaluasi, serta pemerintah dapat memberikan ruang lebih kepada tenaga kesehatan untuk mendapatkan pelatihan seusai dengan kompetensi yang dimiliki.
“Jadi sangat problematis karena itu penting sekali. Kompetensinya itu tidak memungkinkan (saat ini). Ini untuk membantu keberhasilan ibu menyusui, menurut saya itu yang menjadi tantangan buat negara kita,” katanya.
Baca juga: Asosiasi Ibu Menyusui di Kalbar gencarkan sosialisasi PMBA
Baca juga: AIMI: Masyarakat perlu diedukasi terkait bahaya BPA
Baca juga: AIMI: percaya diri ibu kunci keberhasilan menyusui
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022