Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan periode bonus demografi yang dimiliki Indonesia merupakan dampak dari terjadinya penurunan tajam angka kelahiran total.
“Sebagian besar negara di kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia), telah memasuki periode bonus demografi sebagai akibat dari penurunan tajam tingkat kelahiran,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam konferensi Internasional ”the 2nd Southeast Asia Biennial Conference on Population and Health Related to Stunting” yang diikuti di Malang, Jawa Timur, Selasa.
Hasto menuturkan proporsi penduduk usia 15-64 tahun telah meningkat tajam dibandingkan usia tidak produktif seperti lansia dan balita. Hal itu menciptakan peluang bonus demografi yang puncaknya diperkirakan akan dicapai selama periode 2025-2030.
"Dependency ratio atau angka ketergantungan hidup di Indonesia kini adalah setiap 100 orang penduduk produktif dapat menanggung sekitar 41 sampai 46 penduduk tidak produktif," katanya.
Baca juga: BKKBN: Kurangnya kesadaran hidup sehat akar utama masalah stunting
Peluang tersebut, kata Hasto, memberikan keuntungan bagi negara untuk meningkatkan pendapatan sekaligus kesejahteraan keluarga. Sebab produktivitas yang tinggi mampu mendongkrak program berkelanjutan berjalan lebih maksimal.
Sayangnya, bonus demografi di Indonesia menghadapi ancaman serius yang berkaitan dengan kualitas penduduk. Meski kuantitas penduduk masih bernilai strategis, di saat yang sama kualitas penduduk masih dapat dikatakan miris karena Indonesia masih berkutat pada masalah distribusi penduduk yang tidak merata, terutama pulau-pulau terpencil terluar.
“Untuk itu, pembangunan berkelanjutan sebagai komitmen Agenda 2030 terkait dengan masalah kependudukan, seperti pertumbuhan penduduk, lansia, urbanisasi, dan migrasi perlu mendapatkan perhatian bagi semua pihak,” katanya.
Kemudian pada tahun 2030 hampir 10 persen penduduk akan berusia 60 tahun ke atas. Seharusnya para lansia telah disiapkan untuk menjadi sehat dan produktif serta menjadi "lansia aktif". Namun, kondisi di lapangan menemukan banyak lansia dengan tingkat perekonomian miskin dan berpendidikan rendah.
Baca juga: BKKBN: KB bukan hentikan kehamilan tapi menjaga kesehatan ibu
Sedangkan terkait program pemerintah, Hasto menyebut jika program Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga termasuk stunting sudah sesuai dengan sejumlah tujuan utama yang diamanatkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Sejumlah tujuan utama pembangunan yang sesuai dengan tugas BKKBN tersebut adalah tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, kesetaraan gender, air bersih, dan sanitasi layak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, BKKBN pun diberi tanggung jawab untuk melaksanakan program keluarga berencana dan melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 untuk melakukan percepatan penurunan prevalensi stunting.
Hasto turut mengajak kementerian/lembaga untuk berkolaborasi mencari inovasi dan ide-ide yang dapat diintegrasikan sehingga angka stunting yang masih 24,4 persen dapat diturunkan sesuai sasaran yang ditentukan.
Baca juga: BKKBN: Peningkatan fasyankes upaya kejar penduduk tumbuh seimbang
“Peraturan Presiden RI sudah disahkan, rencana aksi nasional, serta perangkat-perangkat pendukung dalam implementasinya juga sudah disiapkan. Kami berharap target pencapaian penurunan stunting di 2024 sebesar 14 persen dapat tercapai,” ujar Hasto.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022