"Sebetulnya bukan siap enggak siap, tapi bagaimanapun kehidupan harus berjalan," kata Zubairi Djoerban kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Hal itu mengingat saat ini ada banyak negara yang telah melonggarkan berbagai pembatasan dalam menghadapi penularan COVID-19.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam subspesialis hematologi onkologi medik itu, setiap negara memiliki kriteria masing-masing terkait kesiapan memasuki masa endemi COVID-19.
Baca juga: Kemenkes perkuat jejaring surveilans di daerah selama transisi endemi
Baca juga: Pakar sebut tes COVID-19 penentu RI berhasil hadapi transisi endemi
Zubairi mencontohkan China dan Hongkong merupakan negara yang ketat dalam menerapkan pembatasan. Dua negara tersebut menargetkan zero transmission atau nol penularan COVID-19.
Sementara Inggris, Amerika Serikat dan Eropa menerapkan kebijakan yang lebih longgar. Adapun Korea Selatan menerapkan pelonggaran, tapi tetap melakukan mitigasi pencegahan penularan.
Zubairi Djoerban mengatakan untuk memasuki masa endemi, Indonesia perlu menentukan seberapa besar tingkat penularan yang dapat ditolerir.
"Masing-masing negara termasuk Indonesia perlu menentukan sikapnya sendiri. Berapa besar penularan yang bisa kita terima. Apakah penularan sekarang ini bisa diterima, bagaimana mengatasi kondisi sekarang ini tanpa membebani negara, tanpa membebani sistem kesehatan nasional," katanya.
Mantan Ketua Satgas COVID-19 IDI ini mencatat kasus harian COVID-19 di Tanah Air saat ini masih di atas 1.000 kasus. Meski masih cukup tinggi, namun tingkat keterisian rumah sakit, rendah. Kemudian angka kematian juga rendah.
Berdasarkan analisa Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan terhadap laju kasus COVID-19 dalam dua pekan terakhir mengalami penurunan konsisten dari 2.298 menjadi 1.692 kasus.*
Baca juga: Epidemiolog: Perlu perbaikan beberapa aspek di masa transisi ke endemi
Baca juga: Pakar: Pandemi memberi pelajaran tentang pentingnya aspek kesehatan
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022