Hal itu, ujarnya di Jakarta, Kamis terkait salah satu isi dalam Perpres tersebut yakni penujukan PTPN III sebagai pengolah gula kristal putih dan gula rafinasi
"Jika monopoli, bisa jadi PTPN III ini akan monopsoni juga dimana nantinya untuk pembelian tebu dari petani akan dikendalikan oleh PTPN III," kata dia melalui keterangan tertulis.
Terlebih, lanjut Nailul, sebelumnya Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA) bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah mematok harga pembelian gula kristal putih (GKP) minimal Rp11.500 per kilogram di tingkat petani.
Harga tersebut, lanjutnya, dinilai akan membuat industri memilih melakukan impor ketimbang menyerap gula petani dalam negeri.
"Ada kekhawatiran mengenai sistem pembelian dari PTPN III ke petani. Bahkan ini kalau kita lihat tarifnya kan Rp11.500 per kg dari petani ke PTPN III, nah bisa memperlebar dengan harga gula internasional," ujarnya.
Menurut dia, hal itu pasti akan menyebabkan banyak yang memilih impor ketimbang menyerap dari dalam negeri kemudian stok dalam negeri tidak terserap. Makanya industri ini butuh keseimbangan.
Nailul menambahkan daripada menerbitkan aturan baru yang berpotensi merugikan petani, lebih baik pemerintah memperbaiki sistem tanam tebu dan produksi gula di dalam negeri.
Selain itu, pemerintah juga seharusnya melakukan berbagai upaya guna memberantas adanya makelar di sistem lelang tebu yang membuat petani merugi.
"Yang pertama pasti membuat petani lebih efisien dengan membuat harga beli dari petani yang kompetitif dan kandungan air yang sesuai sehingga kualitasnya bagus. Kedua adalah meminimalisir adanya bandar di sistem lelang tebu," katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikoen mengkuatirkan pencanangan swasembada gula di 2025 justru akan membuka lebar keran impor gula.
Apalagi, lanjutnya, tugas percepatan swasembada gula diserahkan ke PTPN III lewat skema penunjukan langsung.
Menurut dia, hal itu tidak masuk akal lantaran kapasitas produksi perusahaan plat merah tersebut belum cukup memadai untuk menyerap seluruh tebu petani.
"Memangnya tugas swasembada bisa diselesaikan sendirian, kan harusnya seluruh pabrik atau badan usaha gula bisa dapat penugasan juga dong. Bukan cuma PTPN saja," ujarnya.
Soemitro menilai program swasembada gula tidak pernah tercapai karena pemerintah tidak pernah serius menjalankan program tersebut.
Dalam ketentuannya, lanjutnya, semua perusahaan (BUMN atau Swasta) yang membangun pabrik gula baru (produksi gula konsumsi) diwajibkan untuk menanam tebu. Sebagai kompensasi mereka mendapat kuota impor raw sugar (gula mentah) selama 5 tahun sebagai bahan baku.
"Dan anehnya, selama ini tidak pernah ada sanksi tegas bagi yang mendapat izin impor tapi tidak mau menanam tebu," katanya.
Pada akhirnya, menurut dia, kebijakan ini dikuatirkan hanya akan menguntungkan segelintir pihak.
Baca juga: APTRI kuatirkan rancangan Perpres Swasembada gula perluas impor
Baca juga: Perluasan lahan tebu menuju terwujudnya swasembada gula
Baca juga: NFA perluas lahan tebu perkuat industri gula nasional
Pewarta: Subagyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022