"Pelayanan psikolog sekarang sudah macam-macam. Ada milik pemerintah, di klinik swasta, sejak pandemi juga menjamur banyak konseling online. Bisa diakses di mana saja, jadi manfaatkan," kata Marina dalam acara bincang-bincang kesehatan mental yang digelar daring oleh Ikatan Psikolog Klinis, diikuti di Jakarta, Senin.
Marina yang kini berpraktik di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur itu pun menjelaskan bahwa ada tiga hal yang perlu diobservasi untuk mengetahui seseorang memerlukan layanan psikolog, yaitu pikiran, perasaan, dan tingkah laku.
Menurut dia, jika seseorang mulai berpikir bahwa dirinya tidak mampu menjalani hidup, kebingungan, dan tidak fokus dengan apa yang sedang dia kerjakan karena terlalu banyak yang dipikirkan, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa dia perlu berkonsultasi ke psikolog.
Baca juga: Betulkah anggapan Gen Z bermental lemah?
Baca juga: Kesepian dan finansial faktor pemicu gejala gangguan kesehatan mental
Adapun tanda-tanda lainnya, kata dia, adalah saat seseorang merasakan sedih dan cemas berlebihan, mudah tersinggung, mudah marah, hingga kondisi fisik yang tidak nyaman seperti sering pusing, jantung berdebar, mual, dan muntah.
"Kemudian apakah ada tingkah laku yang berbeda dari sebelumnya, misalnya kurang motivasi untuk kegiatan sehari-hari, mengisolasi diri, enggak mau ketemu orang, atau menunda mengerjakan sesuatu," ujar Marina.
"Jadi seseorang harus mengobservasi tiga hal itu dan perlu ada kerendahan hati untuk mengakui bahwa saya perlu konsultasi ke profesional," ucapnya.
Selain mengobservasi pikiran, perasaan, dan tingkah laku, Marina mengatakan ada tiga hal lain yang juga perlu diperhatikan yakni frekuensi, durasi, dan intensitas.
Menurutnya, jika seseorang mengalami kondisi yang tidak biasa dalam durasi dua pekan atau lebih, dengan intensitas yang sering hingga mengganggu kehidupan sehari-hari, maka dia sudah pasti membutuhkan bantuan profesional.
Saat berkonsultasi ke psikolog, Marina mengingatkan pasien harus bersedia mengungkapkan apa yang sedang dialami dan merefleksikan apa tujuan yang ingin dicapai setelah menjalani sesi konseling.
"Kalau tidak, pengalaman dari saya jadinya pasif. Pasien kurang punya bayangan apa yang mau dilakukan, apa yang dia punya, apa yang dia tuju, apa yang dia mau dan mampu lakukan pada sesi konseling ini. Kalau enggak diungkapkan, ya, enggak akan ada perubahan. Kita enggak bisa mencapai tujuan kita juga," katanya.*
Baca juga: Polri dukung kegiatan bangun kesehatan mental masyarakat
Baca juga: Psikiater: Orang tua wajib hadir fisik dan emosional di kehidupan anak
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022