"Kalau pasiennya banyak, waktu pekerjaan kita juga jadi bisa overload, dan juga ada ekspektasi lingkungan sekitar dari keluarga pasien yang mungkin mengharapkan bahwa tenaga kesehatan harus bisa menyembuhkan," ucapnya dalam webinar dengan tema 'Bagaimana Sembuh Dari Trauma Pandemi COVID-19' yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Selain itu ia mengatakan ada beberapa faktor stress lain yang bisa dialami tenaga kesehatan, yaitu penggunaan alat pelindung diri (APD) yang membatasi ruang gerak, kewaspadaan terus menerus dan tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi.
Stigmatisasi sebagai penyebar virus di lingkungan rumah dan rasa takut menularkan virus ke orang terdekat juga merupakan faktor stress lainnya yang dialami tenaga kesehatan.
Jika stress terjadi terus menerus akan menyebabkan beberapa perubahan pada mental seperti perasaan takut, khawatir, perubahan nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi dan susah tidur, bahkan memperburuk keadaan jika mempunyai penyakit kronis.
Baca juga: Psikolog imbau warga manfaatkan Sahabat Jiwa untuk kesehatan mental
Erickson mengatakan data dari China menunjukkan petugas kesehatan memiliki tingkat tidur buruk paling tinggi, terutama pada usia produktif yaitu sekitar 35 tahun.
"Ada gejala kecemasan, depresi dan kualitas tidur yang buruk yang pastinya itu sangat memengaruhi kualitas hidup kita. Pada orang yang sebelumnya sudah punya masalah kesehatan yang kronis seperti hipertensi, kencing manis, diabetes itu bisa memburuk. Bahkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bisa memperburuk keadaan," ucap Erickson.
Aktivis PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) ini mengatakan, jika akses kesehatan tidak memadai maka penderita stress akan mencari solusi yang menyimpang seperti penggunaan tembakau, mengonsumsi alkohol dan zat berbahaya lainnya.
Stress yang tidak dapat ditolerir atau dikontrol dengan baik pada beberapa orang bisa menimbulkan trauma atau disebut PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Gejala yang bisa terlihat adalah jika pada tenaga kesehatan yang terpapar mengenai kematian akibat COVID-19, cenderung menghindar dan menyalahkan diri sendiri.
Meskipun terpapar stress yang cukup besar, Erickson mengatakan ada faktor-faktor protektif yang bisa membantu mengatasi trauma seperti teman kerja yang mengerti, dukungan sosial, pengertian dari keluarga dan stabilitas finansial.
"Selain itu sebagai partner kerja bisa saling menanyakan kabar, luangkan waktu untuk tertawa, ungkapkan rasa terima kasih dan memperhatikan isyarat teman menjauh dicari tahu penyebabnya," ucap dia.
Baca juga: Psikiater: Penggunaan narkotika termasuk kategori gangguan mental
Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022