Hingga pekan ke-36 tahun 2022 saja jumlah kumulatif kasus kematian mencapai 816 jiwa. Artinya, setiap hari terdapat tiga orang yang meninggal akibat demam berdarah dengue
Dokter Spesialis Anak Konsultan Penyakit Infeksi Tropis Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan RSCM Hindra Irawan Satari menyatakan bahwa kasus demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat saat pandemi COVID-19 dapat dikendalikan sehingga harus diwaspadai secara menyeluruh.
“Meskipun COVID-19 mulai mereda, ini demam berdarah dengue tetap akan ada. Tolong diingat bahwa dia tidak pandang bulu menulari siapapun,” katanya dalam Webinar "Waspada Penyebaran Dengue di Tengah Musim Hujan" yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait persebaran kasus DBD di tahun 2020, jumlah akumulatif kasus mencapai 103.509 kasus. Kemudian di tahun 2021, turun menjadi 73.518 kasus dan naik kembali menjadi 87.501 sampai dengan minggu ke-36 tahun 2022.
Pada tahun 2022 angka itu diprediksi akan terus mengalami kenaikan. Dengan tren naik turun itu, ia mengatakan bahwa dengue akan terus ada dan menulari banyak orang.
Data lain yang dipaparkannya adalah pada tahun 2021, sudah ada 10 provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi, yaitu Kepulauan Riau 80,9 persen, Kalimantan Timur 78,1 persen, Bali 59,8 persen, Kepulauan Bangka Belitung 58,1 persen, Nusa Tenggara Barat 50,9 persen, Jawa Barat 47,8 persen, Sulawesi Utara 47,3 persen, Gorontalo 46,6 persen, Nusa Tenggara Timur 45,4 persen dan Sulawesi Selatan 40 persen dari per 100 ribu penduduk.
Hingga pekan ke-36 tahun 2022 saja, katanya, jumlah kumulatif kasus kematian mencapai 816 jiwa. Artinya, setiap hari terdapat tiga orang yang meninggal akibat demam berdarah dengue.
“Jangan terlena terhadap COVID-19 dan tetap waspada karena angka-angka berbicara,” katanya.
Menurutnya kenaikan kasus dipengaruhi dari perilaku masyarakat di Indonesia yang gemar menampung air atau menciptakan ruang bagi nyamuk berkembang biak.
Selain itu, kemudahan dalam mengakses transportasi juga membantu host atau manusia saling menularkan dan membawa virus dengue sampai ke negara lain.
Kasus semakin meningkat di musim hujan karena perilaku nyamuk yang menyukai hidup di daerah tropis, dengan tingkat kelembaban yang tinggi, banyak air tergenang dan tidak terkena sinar matahari.
“Jadi dia lebih banyak ketersediaannya dan dia menggigit berkali-kali sehingga kasus meningkat. Tapi bukan berarti di musim kemarau tidak ada, dia tetap ada sepanjang tahun meningkat di musim hujan,” katanya.
Ia mengimbau semua pihak untuk tidak hanya berfokus pada COVID-19 saja. DBD mampu menyebabkan kebocorannya pembuluh darah, kerusakan endotel pada pembuluh darah, sehingga cairan yang keluar akan menyebabkan pasien mengalami shock dan berakhir dengan kematian.
“Demam berdarah bisa menyebabkan kematian akibat pendarahan. Itu karena shock pasien yang tidak ditanggulangi dengan sempurna atau datang terlambat. Semua orang sibuk dengan COVID-19, padahal ada yang tidak tertolong juga karena terkena dengue sampai terjadi keterlambatan,” demikian Irawan Satari .
Baca juga: Kemenkes catat kasus dengue sampai minggu ke-39 2022 capai 94.355
Baca juga: RSCM: Potensi kasus DBD perlu diperhatikan sejak musim panas
Baca juga: Tim peneliti FKUI luncurkan alat deteksi dini penyakit DBD
Baca juga: IDAI harap makin banyak pilihan vaksin dengue
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022