• Beranda
  • Berita
  • Jejak digital dinilai hambat penanganan kekerasan seksual elektronik

Jejak digital dinilai hambat penanganan kekerasan seksual elektronik

28 Oktober 2022 18:31 WIB
Jejak digital dinilai hambat penanganan kekerasan seksual elektronik
Paparan yang disampaikan Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam webinar bertajuk Peluncuran Produk Pengetahuan: Belajar Pencegahan & Penanganan Kekerasan Siber di Mancanegara di Jakarta, Jumat (28/10/2022). (ANTARA/ Anita Permata Dewi)

Angka tersebut jelas menunjukkan ruang siber kita masih belum menjadi ranah yang aman

Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi mengatakan bahwa jejak digital menjadi salah satu hambatan dalam penanganan kekerasan seksual berbasis elektronik.

"Jejak digital jadi hambatan dalam penanganan kekerasan seksual berbasis elektronik," kata Siti Aminah Tardi dalam webinar bertajuk Peluncuran Produk Pengetahuan: Belajar Pencegahan & Penanganan Kekerasan Siber di Mancanegara, diikuti di Jakarta, Jumat.

Hal itu karena di satu sisi, korban tidak menginginkan dokumennya tersebar ketika melapor atau mengakses keadilan melalui sistem peradilan pidana.

Namun di sisi lain, hukum acara pidana menyatakan bahwa yang disebut barang bukti itu harus yang asli.

Sehingga ketika kasus dilaporkan ke polisi, hal ini menjadi pertimbangan bagaimana pembuktian di pengadilan.

Baca juga: Komnas Perempuan: Kekerasan seksual berbasis elektronik naik drastis

Baca juga: Andy Yentriyani: Komnas Perempuan terus bekerja di tengah keterbatasan


"Pembuktian di pengadilan itu memerlukan waktu, dari tahap penyidikan ke pengadilan. Bagaimana memastikan itu benar sudah terunggah dan diakses di dunia siber," katanya.

Komnas Perempuan menghimpun data selama periode 2017-2021 dan mencatat kenaikan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik sudah mencapai 108 kali lipat.

"Angka tersebut jelas menunjukkan ruang siber kita masih belum menjadi ranah yang aman," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

Terkait hal itu, pengaturan yang lebih baik tentang kekerasan seksual berbasis elektronik dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga diperlukan. Sebab, menurut Andy, pengaturan tentang kejahatan atau kekerasan seksual belum mencukupi sebelum lahirnya UU TPKS.

Bahkan, kata Andy, keadaannya berpotensi mengkriminalisasi perempuan seperti dalam penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) maupun UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Baca juga: Komnas Perempuan hadapi tantangan peningkatan laporan kasus kekerasan

Baca juga: Menteri: Komnas Perempuan berperan tegakkan pemenuhan hak perempuan

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022