Prof Tjandra beri rekomendasi penanganan polio

20 November 2022 10:57 WIB
Prof Tjandra beri rekomendasi penanganan polio
Petugas kesehatan memberikan vaksin polio dan campak kepada anak balita saat imunisasi di Pos Yandu Harapan Ibu, Kampong Laksana, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, Aceh, Rabu (4/11/2020). ANTARA FOTO/Ampelsa/aww.
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama memberikan sejumlah rekomendasi penanganan kasus polio di Desa Mane, Pidie, Aceh dan wilayah lain, salah satunya dengan vaksinasi.

"Penggalakkan vaksinasi dalam dua bentuknya yakni ORI (outbreak resonse immunization) dan vaksinasi massal penduduk," kata dia melalui pesan elektroniknya, Minggu.

Selain itu, menurut Guru Besar FKUI itu, perlu dilakukan surveilans setidaknya dalam dua bentuk yaitu surveilan AFP (acute flaccid paralysis) untuk menemukan kemungkinan kasus.

Selain itu, surveilans lingkungan untuk mencari vaccine derived polio virus (VDPV) di lingkungan, seperti yang ditemukan di Inggris walaupun tidak ada kasus pada manusia.

Surveilans merupakan suatu kegiatan yang sistematis dan terus menerus, terdiri dari proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data, serta penyebarluasan informasi kepada unit yang membutuhkan untuk pengambilan tindakan.

"Nama virusnya adalah vaccine derived polio virus (VDPV) karena memang asalnya dari vaksin, bukan seperti virus polio liar," tutur Prof Tjandra.

Prof Tjandra mengatakan penyakit polio pada dasarnya disebabkan oleh virus yang disebut virus polio liar atau wild polio virus (WPV), yaitu virus polio liar atau WPV tipe 1, 2 dan 3. Namun virus tipe 2 sudah dinyatakan eradikasi. Di sisi lain, keadaan lumpuh layuh polio dapat juga terjadi akibat virus yang mulainya dari vaksin oral yang kemudian ke luar ke lingkungan dan lalu bermutasi atau VDPV.

"Polio akibat virus polio liar ini hanya tinggal ada di dua negara di dunia, yaitu di Afganistan dan Pakistan, semua negara lain (termasuk Indonesia) sudah bebas polio," kata dia.

Lebih lanjut, sesuai aturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), keadaan dikatakan sudah terjadi penularan di masyarakat atau disebut circulating vaccine-derived poliovirus type 2 (cVDPV2) apabila ditemukan VDPV di setidaknya dua tempat berbeda. Kemudian, ditemukan dalam jarak waktu setidaknya dua bulan atau lebih dan dan virus-virus itu secara genetik berhubungan (“genetically-linked”).

Rekomendasi selanjutnya yakni penanganan pasien yang ada. Kementerian Kesehatan mencatat kasus anak berusia tujuh tahun yang terinfeksi virus polio di Aceh tidak memiliki riwayat imunisasi. Anak itu mengalami gejala lumpuh di kaki kiri, demam dan flu serta onset lumpuh. Dia lalu dilarikan ke RSUD TCD Singil. Hasil RT PCR menunjukkan ada infeksi virus polio tipe 2 dan tipe 3 sabin.

Prof Tjandra yang pernah menjabat sebagai Dirjen Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan menyatakan Indonesia masih berstatus bebas polio yang didapat.

"Kejadian di Aceh karena VDPV2 dan sebelum ini di 2019 sudah ada juga kasus seperti ini di Papua (VDPV 1) pada 2 anak. Jadi sesudah 2014 maka setidaknya sudah ada dua kali KLB Polio di kita, yang ke duanya VDPV, bukan virus polio liar," jelas dia yang menyarankan pemeriksaan amat seksama untuk kejadian di Aceh itu.


Baca juga: Pemerintah respon KLB polio dengan imunisasi di Aceh

Baca juga: Kemenkes: Kasus polio di Aceh tidak memiliki riwayat imunisasi

Baca juga: Virus polio menyebar di London, vaksinasi sasar anak di bawah 10 tahun

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022