"Contohnya dilarang hamil dan disyaratkan tidak hamil," kata Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat dalam peluncuran hasil kajian "Urgensi Ratifikasi KILO 190", di Jakarta, Selasa.
Selain itu, perusahaan mengabaikan hak cuti haid serta menghalangi pekerja memperoleh cuti keguguran. "Pekerja tidak dapat dan sulit mendapatkan cuti keguguran," kata Rainy Hutabarat.
"Ada pula kebijakan perusahaan yang menghalangi hak melahirkan dengan aman," katanya.
Baca juga: Diskriminasi terhadap pekerja perempuan terjadi hampir di semua sektor
Menurut dia, ada pula perusahaan yang tidak menyediakan fasilitas laktasi (ruang menyusui/memerah ASI). "Kalaupun disediakan, fasilitas menyusui tersebut tidak layak, jauh dari area produksi, atau izin dipersulit atasan," kata Rainy.
Tak hanya itu, Komnas Perempuan juga menemukan adanya perusahaan yang menutupi kasus pelanggaran hak maternitas buruh perempuan dan kekerasan seksual dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Contoh lainnya, klinik dan layanan kesehatan yang pro pengusaha dan merugikan hak buruh perempuan.
Kemudian beban kerja yang berlebihan akibat kerja lembur dan tuntutan keluarga/suami, padahal situasi kesehatan reproduksi sedang rentan.
Baca juga: Komnas Perempuan dorong Indonesia adopsi rekomendasi Dewan HAM PBB
Rainy menambahkan, kekerasan seksual juga kerap terjadi di dunia kerja.
"Pelecehan seksual tanpa kontak fisik. Misalnya siulan setiap ada seorang buruh perempuan tertentu lewat, ditambah celetukan yang bikin risih," katanya.
Komnas Perempuan menyebut bahwa diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja perempuan ditemukan pada hampir semua sektor pekerja.
"Perburuhan, rumah tangga, pekerja migran, perempuan dengan disabilitas, jurnalis, pekerja kreatif. Tidak ada sektor yang sepenuhnya aman," kata Rainy.
Baca juga: Komnas Perempuan minta hapus pasal rugikan perempuan di Qanun Jinayat
Bahkan, menurut dia, diskriminasi terhadap perempuan calon pekerja telah dimulai saat rekrutmen.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022