• Beranda
  • Berita
  • KPAI: Pemulihan trauma pascabencana harus ada poros koordinasi

KPAI: Pemulihan trauma pascabencana harus ada poros koordinasi

28 November 2022 21:38 WIB
KPAI: Pemulihan trauma pascabencana harus ada poros koordinasi
Sejumlah pengungsi bencana gempa Cianjur bermain bersama saat mengikuti sesi penyembuhan trauma (trauma healing) di Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (23/11/2022). Terapi penyembuhan trauma yang diadakan oleh Ikatan Guru Raudhatul Athfal (IGRA)  tersebut untuk memulihkan kondisi psikologis sekaligus menghibur pengungsi dari trauma bencana gempa bumi di lingkungan tempat tinggal mereka. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/wsj.

Kegiatan trauma healing harus mempunyai poros koordinasi bersama dan juga menjadi kegiatan terprogram dan berkelanjutan. Setiap sukarelawan yang bekerja harus memiliki kode etik bekerja dengan anak, terkoordinasi dan didukung, agar dapat bekerja maks

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyatakan bahwa kegiatan pemulihan trauma (trauma healing) pascabencana harus memiliki poros koordinasi bersama dengan pelibatan lintas-sektor dan profesi.

“Kegiatan trauma healing harus mempunyai poros koordinasi bersama. Yang mampu menjawab tantangan tersebut, dan juga menjadi kegiatan terprogram dan berkelanjutan. Setiap sukarelawan yang bekerja harus memiliki kode etik bekerja dengan anak, terkoordinasi dan didukung, agar dapat bekerja maksimal di area bencana,” katanya saat dihubungi ANTARA melalui pesan tertulis di Jakarta, Senin.

Ia menilai bahwa kegiatan pemulihan trauma yang diinisiasi oleh berbagai pihak merupakan suatu pertanda yang baik dengan banyaknya elemen masyarakat yang peduli dengan ikut bergerak pascabencana di Cianjur, Jawa Barat.

“Karena pekerjaan ini tidak bisa ditangani sendiri, butuh keterlibatan lintas sektor dan profesi,” katanya.

Meski para sukarelawan memiliki posisi yang penting dan sibuk merespon dengan cepat situasi di lapangan, ia menekankan bahwa tetap harus ada tempat koordinasi bersama agar penanganan dari setiap fase dan respon dapat semakin berkualitas dan berkelanjutan.

Menurut dia, upaya stabilitas penanganan dan memiliki kualitas assessment berkelanjutan menjadi prasyarat keberhasilan penanganan pascabencana, terutama bagi anak-anak. Belajar dari pengalaman penanganan pascagempa, ia mengingatkan perihal adanya tuntutan pendampingan jangka panjang.

Dirinya mendorong untuk dilakukannya pelatihan bagi relawan-relawan setempat sehingga program pemulihan dapat diteruskan dan dilanjutkan secara mandiri setelah relawan luar daerah meninggalkan lokasi bencana.

“Untuk itu penting pemerintah daerah Cianjur menyediakan pos koordinasi relawan trauma healing, hotline, menyediakan tempat manajemen kasus, dan manajemen rujukan, yang bisa langsung direspon bersama dengan supervisi penanganan lintas sektor. Agar membantu kerja-kerja kesukarelawanan dan filantropi,” katanya

Terlepas dari hal tersebut, ia juga mengingatkan jangan sampai pengalaman buruk lain terjadi di lokasi bencana dalam kegiatan pemulihan pada anak. Dia pun menyoroti pentingnya kelengkapan data dan pertanggungjawaban kondisi setiap anak pascabencana sehingga mereka dapat diselamatkan atau dicegah dari situasi yang lebih buruk.

Hal tersebut sesuai dengan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak di mana pemerintah berkewajiban memberikan layanan yang dibutuhkan anak yang memerlukan perlindungan khusus dan mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak anak dalam situasi bencana, demikian Jasra Putra.

Baca juga: KPAI: Relawan berperspektif anak penting untuk pulihkan trauma gempa

Baca juga: TNI AL bantu pendampingan trauma "healing" korban gempa Cianjur

Baca juga: KPAI dorong layanan psikologis untuk anak korban gempa Cianjur

Baca juga: Pemprov Jabar beri penyembuhan trauma pelajar terdampak gempa Cianjur

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022