Lembaga itu dinamakan Aspire Academy yang dibentuk melalui Dekrit Emir No. 16 tahun 2004 di masa kepemimpinan Emir Hamad bin Khalifa Al-Thani, pendahulu Emir Tamim bin Hamad Al-Thani yang kini menjabat.
Meski bersifat independen, lembaga yang dibiayai dari kocek pemerintah Qatar itu harus melapor langsung kepada Emir Qatar, melalui Tamim bin Hamad Al-Thani yang saat itu masih berstatus putra mahkota.
Enam tahun setelah mendirikan Aspire Academy, Qatar diumumkan oleh Presiden FIFA Sepp Blatter sebagai pemenang pencalonan tuan rumah Piala Dunia 2022 pada Desember 2010.
Aspire Academy terbukti punya peranan besar dalam membangun prestasi olahraga Qatar, bukan hanya untuk sepak bola, tetapi juga di beberapa cabang lainnya.
Qatar hanya butuh waktu 10 tahun untuk memetik buah dari upaya mereka mendirikan Aspire Academy, yakni lewat keberhasilan menjuarai Piala Asia U-19 2014 di Myanmar dengan tim yang sepenuhnya berisikan pemain-pemain jebolan akademi tersebut. Itu merupakan kali pertama Qatar bisa merasakan gelar juara sepak bola di tingkat Asia.
Lima tahun berselang, buah Aspire Academy kembail diperoleh Qatar ketika mereka berhasil mencetak sejarah baru mengangkat trofi Piala Asia pertama mereka di level senior dengan menjadi yang terbaik pada edisi 2019 di Uni Emirat Arab.
Aspire Academy adalah nafas utama dari dua kesuksesan itu. Sang juru taktik Felix Sanchez direkrut Qatar ke Aspire Academy dari Barcelona sejak 2006 dan dipercaya menangani timnas U-19 per 2013 dan level senior mulai 2017.
Sanchez juga membawa serta sembilan pemain yang menjuarai Piala Asia U-19 2014 ke dalam skuad Piala Asia 2019, termasuk Ahmed Moein yang pada akhirnya harus menanggalkan tempatnya karena cedera digantikan oleh jebolan Aspire Academy lainnya, Khaled Mohammed.
Almoez Ali yang pada Piala Asia U-19 2014 "cuma" menyumbangkan tiga gol, menaikkan reputasinya dengan menjadi pemain tersubur Piala Asia 2019 dengan torehan sembilan gol. Sekali lagi Aspire Academy sungguh berarti bagi perkembangan sepak bola dan olahraga Qatar pada umumnya.
Baca juga: Kunjungi Qatar, KOI terinspirasi dengan Aspire Academy
Baca juga: Aktivitas diaspora buat Indonesia dilirik ramaikan Piala Dunia 2022
Selanjutnya: SSB diaspora Indonesia
SSB diaspora Indonesia
Data tahun 2017 menyebutkan bahwa populasi Qatar berjumlah 2,6 juta jiwa, tetapi lebih dari 80 persen merupakan warga eskpatriat atau diaspora sedangkan warga negara Qatarnya hanya sekira 313 ribu.
Dengan jumlah tersebut wajar kiranya apabila dalam membangun prestasi olahraga, Qatar begitu mengandalkan "sumbangsih" warga-warga ekspatriat di tanah mereka, demikian juga dengan kasus Aspire Academy.
Komunitas diaspora Indonesia di Qatar yang diperkirakan berjumlah 22 ribu orang, secara tidak langsung turut dilibatkan oleh pemerintah setempat dalam membangun Aspire Academy dan mengasah bakat olahraga.
Diaspora Indonesia yang tersebar di beberapa wilayah di Qatar membentuk beberapa komunitas sepak bola yang sekaligus berfungsi sebagai sekolah sepak bola (SSB) seperti Al Khor Football Community.
Al Khor Football Community merupakan buah tangan dari inisiatif Muhammad Yunus Bani, pria Lhokseumawe yang sejak 1998 hijrah untuk bekerja di Qatar Gas.
Di sela-sela kesibukannya, Yunus agaknya tak bisa menghindari kegemarannya mengolah si kulit bundar mengingat ia juga sempat berbagi tim dengan mantan gelandang serang andalan Merah Putih, Fakhri Husaini.
Keduanya sempat berbagi tim kala Fakhri menimba ilmu di Bina Taruna saat ikut dengan orang tuanya yang pindah ke Lhokseumawe untuk bekerja di PT Arun LNG.
Yunus melampiaskan kegemarannya itu dengan melatih anak-anak yang ada di Al Khor Community, kawasan komplek pemukiman besar yang mayoritas berisikan pekerja-pekerja Qatar Gas, baik itu putra diaspora Indonesia maupun negara-negara lain.
Baca juga: Penampilan seni diaspora Indonesia pukau warga Qatar
Aktivitasnya itu rupanya disadari oleh direktur Al Khor Community yang menyarankannya untuk mendirikan semacam SSB bagi anak-anak di komunitas tersebut.
"Terbentuklah tim community, dari anak-anak berbagai negara, di dalamnya ada Indonesia juga. Kemudian muncul pertanyaan kenapa tidak dibentuk Indonesia saja, maka kami bentuk lah tim yang Indonesia saja," kata Yunus saat ditemui di Al Khor, Qatar, Rabu (30/11) lalu.
Yunus kemudian rutin menawarkan Al Khor Football Community menjadi lawan sparring partner untuk tim junior dari berbagai klub sepak bola profesional Qatar.
Momentum kompetisi antarsekolah sukses membuat pemain-pemain binaan Yunus di Al Khor Football Comunity diendus bakatnya oleh Kementerian Pendidikan Qatar, yang menginformasikan kepada Aspire Academy untuk meninjau lebih jauh.
Mantan pemain Persija Jakarta, Farri Agri, merupakan salah satu anak Indonesia binaan Yunus pertama yang sempat direkrut oleh Aspire Academy dan berhasil membuka pintu kariernya sebagai pesepak bola profesional.
Menyusul Farri terdapat pula Ahmad Al Khuwailid Mustafa yang kini berusia 22 tahun dan berseragam klub liga tertinggi Qatar, Qatar SC.
Yunus mengenang setelah sekira 25 pemain dari berbagai kebangsaan ia tawarkan ke Aspire Academy, lembaga itu memintanya untuk bergabung menjadi salah satu pelatih.
Akan tetapi di Qatar tidak diperkenankan seorang pekerja melakukan dua pekerjaan dengan waktu penuh, oleh karena itu Yunus tetap menjalankan pekerjaannya di Qatar Gas sembari meminta tenggang paruh waktu untuk berkecimpung di Aspire Academy.
"Di Aspire Academy saya itu bergabung dengan Talent Center Department, jadi yang saya pegang anak-anak usia 6-7 tahun," ujarnya.
Setelah empat tahun berjalan dengan status paruh waktu, Aspire Academy menawari Yunus untuk berganti status dengan waktu penuh tapi ia memilih melanjutkan pekerjaannya di Qatar Gas.
Kendati demikian, Yunus masih tetap menjalin hubungan baik dengan Aspire Academy dan menawarkan bakat-bakat binaannya di Al Khor Football Community, termasuk anak-anak diaspora Indonesia.
Baca juga: Dari Tenda Suku Badawi, Piala Dunia 2022 resmi dibuka
Baca juga: Anak diaspora di Qatar belajar Bahasa Indonesia
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2022