Dokter kesehatan jiwa Willy Steven mengemukakan kaum perempuan dan anak-anak masuk ke dalam kriteria populasi rentan mengalami gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) akibat bencana alam.Bisa juga difasilitasi kegiatan kelompok yang melibatkan keluarga
"Kondisi bencana besar seperti gempa bumi di Palu, Tsunami di Aceh beberapa orang mengalami gejala PTSD. Tapi perlu diingat, tidak semua orang mengalami hal itu," kata Willy Steven dalam acara Radio Kesehatan bertajuk "Langkah Tepat Mengatasi Trauma Untuk Korban Bencana Alam" yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Senin.
Dokter kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan Jakarta itu mengatakan PTSD adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang bersifat trauma atau sangat tidak menyenangkan.
Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD di antaranya kesulitan untuk tidur, karena peristiwa yang membuatnya trauma kerap hadir dalam mimpi buruk sehingga penderita tertekan secara emosional.
Selain itu, kata Willy, ada kecenderungan penderita untuk menarik diri dari tempat keramaian demi menghindari pembicaraan terkait peristiwa yang membuatnya trauma.
Baca juga: Psikolog: Penyintas perlu dukungan psikologis awal cegah trauma
Baca juga: Pentingnya pulihkan trauma anak usai bencana
"Orangnya bisa mematung antara sadar dan tidak. Ada yang berharap kejadian yang dialami adalah mimpi, ada yang bersedih, ada juga yang ketakutan apakah selesai atau kejadian itu terulang lagi," ujarnya.
Gejala lainnya adalah perubahan perilaku dan emosi. Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meskipun tidak dipicu oleh ingatan pada peristiwa trauma yang dialami.
Ia mengatakan, populasi yang kini rentan terkena dampak PTSD di antaranya adalah anak-anak. Sebab, bencana alam berpotensi mengganggu akses anak pada interaksi bermain, sekolah, hingga kehilangan orang terdekatnya.
"Anak bisa mengalami kondisi trauma, di antaranya karena rutinitas yang terganggu serta akses yang terbatas akibat bencana," katanya.
Selain anak, populasi lainnya yang rentan adalah kaum perempuan. Mereka kerap kali diandalkan untuk mengurus segala macam kebutuhan keluarga usai bencana.
"Perempuan biasanya jadi orang yang dimintai dukungan apabila ada yang sakit untuk ikut merawat, karena bisa jadi dia sedang tidak nyaman karena bencana," katanya.
Selain itu, kata Willy, perempuan juga termasuk ke dalam populasi rentan mengalami pelecehan seksual karena usai gempa, mereka tinggal di luar rumah, seperti di penampungan.
Willy menambahkan PTSD pada kondisi terparah dapat mengganggu kehidupan penderitanya, baik di lingkup keluarga, orang terdekat, atau pekerjaan. Jika tidak ditangani dengan tepat, penderita PTSD juga berisiko menderita gangguan mental seperti depresi, kecemasan, hingga memiliki keinginan untuk melukai diri sendiri.
Upaya mengatasi PTSD, dikenal dengan istilah pemberian dukungan bantuan kesehatan jiwa dan psikososial secara bertahap.
Mulai dari dukungan mendasar seperti memberikan jaminan keamanan, pasokan kebutuhan dasar seperti air dan sanitasi yang bersih dan dukungan lainnya pada akses layanan kesehatan jika dipandang perlu.
"Bisa juga difasilitasi kegiatan kelompok yang melibatkan keluarga, ibadah keagamaan, dan lainnya," katanya.
Tahapan berikutnya adalah dukungan layanan kesehatan kepada penderita trauma berat melalui kegiatan penyembuhan trauma dengan melibatkan ahli.
"Dukungan kesehatan jiwa dan psikososial bisa dimulai dari prabencana melalui persiapan mitigasi bencana yang matang. Apabila terjadi bencana tetapkan titik kumpul, jalin kerja sama dengan pihak terkait untuk sistem bantuan kesehatan," katanya.
Menurut Willy, pemulihan PTSD membutuhkan kolaborasi multisistem dari berbagai kalangan, mulai dari orang terdekat hingga jejaring layanan kesehatan jiwa.
Baca juga: Trauma bencana sosial lebih dalam dibanding bencana alam
Baca juga: Terapi untuk pulihkan anak dari trauma bencana
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022