Dampak bencana yang seringkali luput dari perhatian adalah gangguan kejiwaan (psikologis) pada anak atau biasa disebut trauma.
Berbeda dengan biaya kerusakan secara sosial atau ekonomi yang dapat dihitung, dampak psikologis pada anak pasca bencana tidak dapat diprediksi waktu, durasi serta intensitasnya.
Gejala trauma yang muncul pun juga berbeda-beda, sehingga tidak dapat dibandingkan antara satu anak dengan anak lainnya. Beberapa contoh trauma pada anak pasca bencana adalah gangguan kecemasan, mudah panik, stres akut sampai depresi.
Baca juga: Perceraian orang tua bisa sebabkan anak takut menikah? Ini kata psikolog
Gejala-gejala tersebut apabila diabaikan tentunya akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak baik fisik maupun mentalnya.
Christina Dumaria Sirumapea M.Psi.,Psikolog, Psikolog Klinis Dewasa dan Associate Assessor di TigaGenerasi dalam siaran pers pada Jumat mengatakan aspek psikologis juga penting untuk diperhatikan dalam menghadapi dampak bencana.
"Yang bisa dilakukan untuk memulihkan trauma anak usai terjadi bencana adalah dengan melakukan psychological first aid (PFA)," kata Christina dalam Webinar "Pelatihan Psikososial dan Trauma Healing Bagi Tenaga Pendidik" yang digagas Cetta Satkaara bersama Rumah Guru BK (RGBK) beberapa waktu lalu.
PFA adalah tindakan suportif dan manusiawi, berupa dukungan sosial, emosional, atau praktis yang diberikan terhadap seseorang yang mengalami peristiwa krisis.
PFA bagi anak korban bencana dibagi menjadi empat landasan yakni prepare, look, listen dan link.
"PFA itu dukungan praktis layaknya kotak obat darurat yang bisa digunakan orang awam untuk membantu sementara dalam penanganan korban pasca bencana agar lebih tenang dan aman. Namun untuk tahap lanjutannya tetap harus ditangani oleh profesional yaitu psikolog atau dokter," kata perempuan yang akrab disapa Ina itu.
Baca juga: Kekerasan seksual pada anak picu trauma berkepanjangan
Adapun empat landasan PFA meliputi; Prepare yakni pengamatan situasi keamanan, gejala serta bantuan yang dibutuhkan korban. Look adalah pendekatan sebagai pendengar aktif untuk membantu korban menenangkan diri. Listen diterapkan dengan memberikan akses layanan kesehatan, sementara Link dengan menghubungkan korban ke tenaga profesional sesuai kebutuhannya.
Ina menambahkan,"yang perlu digarisbawahi adalah jangan bertanya terlalu detail mengenai trauma yang dialami karena justru akan men-trigger ingatan korban akan pengalaman bencana”.
Co Founder dan Senior Advisor PT Cetta Satkaara, Ruth Andriani menuturkan rentetan bencana yang terjadi di tanah air belakangan ini membawa keprihatinan. Namun sayangnya, bantuan di ranah psikologis masih sering terlupakan, padahal banyak korban yang masih menyisakan trauma psikis berkepanjangan pasca bencana.
"Sebagian orang berfokus hanya pada luka fisik dan menekankan pentingnya kehadiran bantuan medis saat bencana terjadi. Belum banyak yang memahami bahwa ada luka emosional, terutama pada anak yang sama sakitnya dan butuh perhatian lebih untuk ditangani," kata Ruth.
Baca juga: Pria berpotensi trauma setelah istri melahirkan
Baca juga: Atasi trauma anak, ayah di Suriah ubah suara perang jadi permainan
Baca juga: Yuni Shara trauma setelah rumahnya kebanjiran
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021