Ini salah satu isu penyalahgunaan narkotika akibat kurang tepat dalam pemberian resep dan ini tentunya memerlukan pengawasan
Pakar keamanan dan ketahanan kesehatan Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman meminta pemerintah memperhatikan distribusi obat jenis Fentanyl di Indonesia untuk mencegah penyalahgunaan narkotika seperti terjadi di Los Angeles, Amerika Serikat.
“Ini salah satu isu penyalahgunaan narkotika akibat kurang tepat dalam pemberian resep dan ini tentunya memerlukan pengawasan,” kata Dicky dalam pesan suara yang diterima di Jakarta, Senin.
Dicky menjelaskan Fentanyl merupakan salah satu obat yang biasa digunakan untuk mengurangi rasa nyeri yang hebat pada pasien penderita kanker atau gangguan lain seperti ginjal. Efek samping yang bisa ditimbulkan bisa berpuluh kali lipat lebih kuat dari heroin.
Akses Fentanyl di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru bisa dengan mudah didapat masyarakat karena dibuat dalam bentuk suntikan (injeksi) maupun plester. Hal tersebut membuat Fentanyl jadi populer dan mudah dipakai.
Sayangnya, hal tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab di pasar gelap dan menjadikannya sebagai salah satu tren penyalahgunaan narkotika. Ditambah dengan rasa penasaran masyarakat yang amat tinggi tanpa diimbangi dengan literasi yang memadai.
Akibatnya, pengguna Fentanyl yang menkonsumsinya secara berlebihan terkena efek samping seperti euforia berlebihan, gangguan pernafasan hingga kematian karena overdosis.
“Rasa penasaran yang timbul di masyarakat itu karena efek yang menyebabkan ketagihan sebagaimana umumnya narkotika yang lain, itu yang berbahaya karena mereka tidak menyadari ini,” ujarnya.
Baca juga: Pakar Farmasi Unair berikan tip pilih obat aman untuk anak
Baca juga: Pakar dorong penetapan kejadian luar biasa untuk gangguan ginjal akut
Menurut dia, dengan pengawasan edar obat yang masih lemah di Indonesia maka pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pada resep Fentanyl dengan melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kesehatan hingga pemerintah daerah.
Hal itu untuk mencegah potensi buruk yang lebih besar, terutama dengan hadirnya era globalisasi yang mempermudah berbagai obat disalahgunakan oleh pihak-pihak rawan seperti para remaja yang banyak mengisi waktu luang dengan hal negatif atau tidak produktif.
“Selain itu bukan hanya dari sistem pengawasan atau penegakan hukum, tapi juga literasi pada sekolah, pemuda, masyarakat, yang melibatkan organisasi keagamaan atau kemasyarakatan dan orang tua karena penyalahgunaan ini diawali dengan coba-coba,” katanya.
Dicky turut menyatakan bahwa fenomena seperti itu tidak akan menjadi pandemi, karena sifatnya berupa penyalahgunaan obat dan lokalistik. Biasanya, hanya terjadi di wilayah tertentu di setiap negara.
“Kalau ada fenomena atau drugs baru kaitannya dengan penyalahgunaan obat, ini selalu hadir dan mereka selalu berusaha untuk menciptakan tren baru bagi produsen obat terlarang ini atau yang bergerak di bisnis ini agar dapat keuntungan,” katanya.
Sebagai informasi, beberapa hari lalu beredar banyak foto di media sosial yang memperlihatkan banyak orang kejang atau tergeletak di jalanan. Banyak tunawisma meninggal dunia akibat overdosis. Diduga bahwa fenomena tersebut disebabkan oleh konsumsi obat Fentanyl berlebihan.
Baca juga: Pakar Unpad: Apoteker berperan penting edukasi masyarakat soal obat
Baca juga: Pakar hukum: Kemenkes berwenang keluarkan aturan soal izin ganja medis
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022