Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (Iress) Marwan Batubara menegaskan kembali penolakan atas ketentuan skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik PLN oleh pihak swasta Independent Power Producer (IPP), masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).Prinsipnya, skema ini hanya akan menguntungkan para investor/IPP, atas nama dan alasan absurd, namun di sisi lain akan sangat merugikan negara/APBN, BUMN/PLN dan juga rakyat konsumen listrik
"Meskipun disebutkan telah dihapus dalam pokok bahasan, rakyat harus waspada dan tetap menolak dimasukkannya ketentuan tentang skema power wheeling," kata Marwan Batubara dalam diskusi bertajuk "Mengawal RUU EBET Konstitusional dan Pro Rakyat" secara daring di Jakarta, Rabu.
Menurut Marwan, skema power wheeling akan memberi jalan kepada IPP atau pihak swasta mengambil porsi bisnis PLN (pelanggan premium) serta mengurangi kemampuan subsidi silang antarwilayah.
Dengan skema ini, meski tidak memiliki jaringan transmisi dan distribusi sendiri, pasokan listrik IPP dapat sampai kepada konsumen, di mana saja berada. Sebab, dengan skema power wheeling, IPP diberi kesempatan untuk memanfaatkan sarana yang dimiliki PLN untuk menyalurkan listrik ke konsumen.
"Prinsipnya, skema ini hanya akan menguntungkan para investor/IPP, atas nama dan alasan absurd, namun di sisi lain akan sangat merugikan negara/APBN, BUMN/PLN dan juga rakyat konsumen listrik," ujar Marwan.
Ia juga menilai hingga saat ini secara formil proses pembentukan UU EBET sudah bermasalah. Dikatakan, RUU EBET telah masuk prolegnas sejak 2019 dan terus menjadi RUU prioritas pada 2020, 2021 dan 2022. Tetapi draf RUU EBET baru disampaikan ke pemerintah 14 Juni 2022.
Menurut Marwan, pemerintah baru memberi pandangan (termasuk draf Daftar Inventarisasi Masalah/DIM) atas RUU EBET saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR dan DPD RI pada 29 November 2022. Hingga saat ini, DIM final belum disampaikan kepada DPR.
"Tampaknya, RUU EBET tidak akan dapat ditetapkan pada 2022 ini, dan kembali menjadi RUU prioritas pada 2023," ujar Marwan Batubara.
Pembicara lain Anggota Komisi VII DPR, Dr.Mulyanto mengatakan pihaknya masih menunggu DIM final RUU EBET tersebut dari pemerintah. Walaupun dari Raker terakhir dengan Komisi VII DPR pada akhir November lalu, masalah power wheeling sama sekali tidak disinggung pihak pemerintah.
"Mungkin masih ada perdebatan di kalangan pemerintah sendiri mengenai power wheeling tersebut," ujar Mulyanto.
Ia menilai skema power wheeling itu bisa dikatakan sebagai upaya privatisasi di sektor transmisi ketenagalistrikan yang berpotensi melanggar undang-undang.
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Akhmad Akbar Susamto berpendapat UU tentang EBT diperlukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan yang melimpah. Perundang-undangan yang ada saat ini dinilainya belum cukup komprehensif untuk menjadi landasan hukum pengembangan EBT.
Meski begitu, Akbar Susamto meminta agar transisi menuju EBT harus dilaksanakan secara bertahap, terukur dan berkelanjutan. Transisi tersebut juga harus mengedepankan energi terbarukan, dan bukan sekedar energi baru.
"Indonesia tidak perlu memaksakan diri seolah-olah menjadi yang terdepan di dunia tetapi kemudian justru terbebani dan harus menanggung konsekuensi negatif yang merugikan masyarakat," katanya.
Transisi menuju EBT tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan BUMN. Begitu pula transisi menuju EBT tersebut tidak boleh dilakukan dengan membebani keuangan negara.
"Sebagai contoh, pasal yang mewajibkan BUMN listrik untuk membeli listrik yang dihasilkan dari energi baru dapat memperburuk keseimbangan suplai listrik sekaligus membuka peluang rente," ujar Akbar Susamto.
Baca juga: Kementerian ESDM paparkan urgensi penerapan "power wheeling"
Baca juga: Anggota DPR dukung transisi energi yang adil bagi masyarakat
Baca juga: Indef sebut tak ada urgensi penerapan "power wheeling"
Baca juga: Ekonom UGM: Skema 'power wheeling' bentuk liberalisasi kelistrikan
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022