Mencari pertolongan profesional ‘therapist’ akan membantu
Sering kali ketika berbicara soal trauma kita berpikir bahwa itu merupakan dampak kejadian masa lalu. Namun, nyatanya trauma jauh lebih kompleks dan subjektif tergantung tiap-tiap individu yang mengalaminya.
Trauma juga tidak pandang usia dan jenis kelamin. Jika tidak diatasi dengan baik dan tepat apalagi terus diabaikan, seseorang dapat mengalami berbagai gangguan kesehatan mental mulai ringan hingga kronis.
Psikiater jebolan Universitas Sebelas Maret Jiemi Ardian kepada Antara, Senin, menjelaskan mengenai beberapa jenis trauma yang ada, gejala, juga cara mengatasinya secara detail.
“Trauma adalah reaksi tubuh yang terjadi di saat ini akibat peristiwa yang terjadi di masa lalu. Jadi bukan tentang kejadiannya saja, ini tentang reaksi tubuh yang ada saat ini," katanya.
Baca juga: Polisi upayakan pemulihan trauma untuk korban pembakaran di Jakut
Reaksi tubuh yang dimaksud, menurutnya, adalah reaksi yang ingin melindungi diri secara terus-menerus atau merasa terancam misalnya, takut, cemas, tegang, atau bersiap siaga terhadap adanya ‘stressor’ sehingga kita menyebutnya mudah terpicu atau sensitif.
Jiemi yang berpraktik di Rumah Sakit Siloam Bogor itu menjelaskan bahwa orang yang memiliki trauma kerap alami kilas balik atau ‘flash back’ secara mendadak. Memori buruk yang muncul bukan sengaja diingat-ingat melainkan timbul di otak begitu saja.
Kategori Trauma
1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
PTSD atau Gangguan Stres Pasca Trauma merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatis. Beberapa peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD adalah perang, kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual.
2. Complex Post Traumatic Stress Disorder (CPTSD)
CPTSD adalah kondisi dimana pengidap mengalami beberapa gejala PTSD disertai beberapa gejala tambahan, salah satunya kesulitan mengendalikan emosi.
3. Post Traumatic Stress Symptom (PTSS)
Seseorang dengan PTSS akan sering mengalami ‘flash back’ emosional diiringi perasaan intens seperti ketakutan, malu, sedih, atau putus asa.
Baca juga: Menteri PPPA: Dongeng bantu atasi trauma anak penyintas gempa Cianjur
4. Developed Mental Trauma
Developed Mental Trauma atau trauma pada masa perkembangan adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak yang berefek hingga dewasa, seperti merasa tidak diinginkan, diabaikan, dianiaya, dilecehkan, yang telah berulang kali terjadi.
Kenali Gejalanya
Menurut Psikiater Jiemi Ardian, Keseluruhan jenis trauma ini memiliki gejala yang dikategorikan ke dalam dua aspek, yakni ‘hyperarousal’ dan ‘hypoarousal’.
Hyperarousal terjadi ketika tubuh seseorang tiba-tiba menjadi sangat waspada ketika terpicu suatu hal yang menyebabkan trauma. Tubuh pengidap hyperarousal akan bertindak waspada seolah-olah sedang dalam bahaya, diiringi perasaan gelisah, amarah yang di luar kendali bahkan cenderung ingin bertarung atau melarikan diri.
Sedangkan ‘Hypoarousal’ adalah sebaliknya, seperti respon tubuh yang berkurang, kelelahan, mati rasa emosional bahkan depresi. Gejala ini membuat tubuh orang yang memiliki trauma membeku tidak dapat melakukan apa pun.
Orang tanpa trauma atau dalam keadaan pikiran yang tenang atau normal akan cenderung merasa aman, terkendali terhadap pikiran, pilihan dan keputusan dalam segala aspek hidup, namun tidak bagi para pejuang trauma.
Baca juga: KPAI: Relawan berperspektif anak penting untuk pulihkan trauma gempa
“Contoh sederhananya bila seseorang memiliki trauma pernah dikejar macan, lalu dia mengalami serangan panik karena melihat seorang wanita mengenakan celana bermotif hewan tersebut. Jika dilihat dari luar mungkin terlihat sangat berlebihan tapi bila kita melihat lebih detail, ini adalah respon penyelamatan tubuh yang sangat jenius, tubuh langsung mengirimkan sinyal begitu saja untuk kita bereaksi mengamankan diri.” kata Jiemi Ardian.
Namun permasalahanya kita tidak sedang di dalam hutan dan hidup di tempat yang aman dari ancaman itu. Sehingga respon yang cepat ini seringkali mengganggu pejuang trauma dalam keseharianya.
Cara mengatasi gejala trauma
Kabar baiknya, Jiemi mengatakan ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi reaksi trauma itu.
“Trauma bukan berarti tidak dapat disembuhkan, gejala akan mereda dalam waktu singkat itu mungkin, namun untuk sembuh butuh fase jangka panjang karena kita butuh memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang hilang pada saat trauma yang dulu terjadi termasuk keterampilan yang hilang, misalnya regulasi emosi.” tambah Jiemi.
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan meditasi, ada banyak jenis meditasi yang tersedia di kota-kota tempat anda tinggal, bahkan meditasi juga dapat dilakukan di rumah.
Baca juga: Psikolog: Penyintas perlu dukungan psikologis awal cegah trauma
Kita juga tidak bisa memungkiri kekuatan musik dalam kehidupan. Mendengarkan musik masih menjadi andalan pada berbagai situasi dan kondisi yang kita alami dan menjadi salah satu cara untuk menenangkan diri.
Jiemi mengatakan melakukan aktivitas hobi juga dapat memperluas ‘window of tolerance’ atau jendela toleransi kita. Jendela toleransi menggambarkan keadaan di mana kita dapat berfungsi dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita ada di dalam jendela ini, kita dapat beraktivitas secara efektif dan berhubungan baik dengan diri kita sendiri dan orang lain.
“Mencari pertolongan profesional ‘therapist’ akan membantu menyadari dan mempelajari ulang bagaimana tubuh kita bereaksi dan cara mengatasinya. Pesan untuk para pejuang trauma, jika rasanya sulit tidak apa untuk menemui profesional kesehatan jiwa dan terima kasih sudah bertahan sejauh ini ya,” kata Jiemi.
Meski masih tabu di Indonesia untuk “berobat” ke psikolog atau psikiater, tidak perlu segan untuk meminta pertolongan. Berbagai psikolog mengatakan gangguan mental sama halnya seperti saat fisik kita sedang lelah atau sakit, dan keduanya sama-sama penting.
Bagi anda pejuang trauma tak perlu tergesa-gesa, berjalan lah perlahan maka pilu akan menjadi pelangi indah di kemudian hari.
Baca juga: Cara menanggulangi trauma anak karena KDRT
Baca juga: Tips pulihkan trauma akibat perselingkuhan sebelum mulai hubungan baru
Pewarta: Pamela Sakina
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023