"Tantangan terbesar kami untuk mewujudkan keinginan itu (kampus AI dan digital) adalah membangun iklim riset,” kata Prof Widodo dalam rilis yang diterima di Malang, Jawa Timur, Minggu.
Prof Widodo mengemukakan hal itu dalam Sidang Paripurna Majelis Senat Akademik (MSA) yang diselenggarakan di kampus UB Malang, Sabtu (11/2) dengan tema “Tantangan Pengelolaan PTN BH dalam Meningkatkan Mutu Akademik dan Rekognisi Internasional".
Lebih lanjut, ia mengatakan untuk membangun iklim riset ini caranya yang pertama adalah mengundang ilmuwan yang bisa menularkan iklim riset dan bisa stay di kampus. Kedua, menambah jumlah mahasiswa PMDSU (Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul), ketiga, manajemen pendanaan riset, dan keempat, magang staf pengajar ke kampus luar negeri yang bagus risetnya.
Baca juga: SDGs UB bangun jejaring dengan Prancis dan Jerman
“Pendanaan riset tidak selalu fokus pada jumlah, tetapi manajemen pendanaan riset agar diberikan ke orang-orang yang tepat,” ucapnya.
Ia menyampaikan bahwa kualitas riset yang ada di UB saat ini belum bagus. Oleh karena itu, untuk mendekatkan ke rekognisi internasional, caranya dengan menggunakan Artificial Intellegence (AI).
Menurut dia, kalau mau berkembang harus berkolaborasi, salah satunya dengan dunia digital, karena AI sifatnya beragam.
Rektor mengatakan pendidikan digital akan memudahkan mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan, karena fleksibel, dan untuk masuk ke situ, tata kelola dan perangkat harus dipersiapkan.
Ia mengemukakan UB telah memiliki supercomputer NVIDIA DGX A100. Supercomputer ini dapat dimanfaatkan mahasiswa dan dosen yang memerlukan perangkat komputasi tinggi untuk melaksanakan riset dan publikasi.
Baca juga: 23 tim dosen UB mendapatkan hibah dana pendamping Rp11,7 miliar
Sementara itu, Ketua Senat Akademik Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Hermawan Kresno Dipojono Ph.D mengemukakan 30 universitas riset di Indonesia harus memperkuat ekosistem penelitian yang berkualitas.
“Jumlah penulis dilihat di Scopus untuk MIT itu 50 kali lipat dari jumlah dosennya. Itu tandanya mereka melakukan kolaborasi,” kata Prof Hermawan dalam paparannya dengan judul "Kolaborasi Indonesia Scientific Empire".
Pada kesempatan itu, ia mengatakan jika sebuah universitas berani membuka kelas doktoral, berarti berani menjadi universitas riset dan implikasinya publikasi yang berkualitas untuk kenaikan jabatan ke lektor kepala dan profesor bagi para dosen.
Baca juga: UB jajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan Saudi Arabia
Menurut dia, untuk menguatkan riset diperlukan kolaborasi. Prof Hermawan mengatakan selama 25 tahun terakhir ia memiliki tim yang terdiri atas mahasiswa S1, S2, S3, dan staf yang berkolaborasi. Setiap pekan kelompok ini bertemu untuk membahas berbagai penelitian.
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023