Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin mengatakan perubahan klimatologis itu telah terjadi selama hampir dua dekade terakhir pada periode tahun 2001 sampai 2019.
"Durasi musim hujan lebih panjang di beberapa wilayah selatan di Indonesia, di antaranya Sumatera Selatan dan Kalimantan dan sebagian wilayah di selatan Pulau Sulawesi selama 49 hari. Sementara, di Lampung dan bagian barat Pulau Jawa durasi musim hujan berlangsung lebih panjang 12 hari," kata Erma di Jakarta, Kamis.
"Durasi musim hujan lebih panjang di beberapa wilayah selatan di Indonesia, di antaranya Sumatera Selatan dan Kalimantan dan sebagian wilayah di selatan Pulau Sulawesi selama 49 hari. Sementara, di Lampung dan bagian barat Pulau Jawa durasi musim hujan berlangsung lebih panjang 12 hari," kata Erma di Jakarta, Kamis.
"Hari-hari kering mengalami peningkatan selama musim hujan untuk wilayah selatan Indonesia," katanya.
Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN membangun model prediksi musim Decision Support System (DSS) Kamajaya.
Kamajaya merupakan aplikasi sistem kajian awal musim jangka madya berbasis model atmosfer. Data yang dihasilkan Kamajaya kemudian dikembangkan untuk mendukung riset atmosfer maupun aplikasinya.
Baca juga: BRIN: Cuaca ekstrem indikasi nyata perubahan iklim
Baca juga: BRIN: Cuaca ekstrem indikasi nyata perubahan iklim
Pada Januari 2023, European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) menyatakan bahwa pemanasan global diperkirakan mencapai 1,21 derajat Celcius. Dalam 30 tahun, pemanasan global ini dapat berlanjut hingga mencapai 1,5 derajat Celcius pada Maret 2023.
Erma menjelaskan bahwa perubahan Iklim di Indonesia memiliki dampak dan efek yang berbeda di setiap wilayah di Indonesia.
Selama musim hujan akan terjadi peningkatan hujan yang lebih ekstrem. Adapun selama musim kemarau, hujan ekstrem semakin sering terjadi di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
"Fokus pengamatan kami di selatan Indonesia, karena selatan Indonesia merupakan tempat sentra pangan di Indonesia serta memiliki penduduk terbanyak," kata Erma.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa hasil penelitian BRIN menunjukkan ada perubahan temperatur signifikan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (tahun 2021-2050 terhadap 1991-2020).
Baca juga: Peneliti iklim: Badai vorteks jadi penyebab hujan ekstrem di Jawa
Baca juga: Peneliti iklim: Badai vorteks jadi penyebab hujan ekstrem di Jawa
Temperatur minimum mengalami penurunan di sebagian besar pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta bagian tengah Jawa Barat. Sedangkan, temperatur maksimum mengalami peningkatan di sebagian besar pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Adapun hari-hari tidak hujan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan diproyeksikan meningkat, sehingga lebih kering dan mengalami peningkatan kering yang signifikan, sama halnya di Sumatera Selatan hingga Lampung.
Perubahan iklim menyebabkan terjadinya badai vorteks dan siklon tropis di selatan Nusa Tenggara Timur, sehingga dampaknya meningkatkan hujan dan menimbulkan banjir di Madura dan wilayah Jawa Timur lainnya.
Selain itu, ada penghangatan suhu permukaan laut di Laut Jawa bagian utara Jakarta. Di sisi lain, suhu permukaan laut yang mendingin terbentuk di Laut China Selatan telah menciptakan tekanan tinggi.
Erma menuturkan perlu model prediksi cuaca resolusi tinggi secara temporal dan spasial dengan wilayah dominan yang luas, serta mengedukasi masyarakat secara komprehensif untuk mengantisipasi kebencanaan yang mungkin terjadi akibat badai badai vorteks dan siklon tropis.
Baca juga: BRIN: Riset perubahan iklim perlu perhatikan kondisi di masyarakat
Baca juga: BRIN: Riset perubahan iklim perlu perhatikan kondisi di masyarakat
Ia juga mengatakan bahwa Indonesia perlu membangun Weather Ready Nation yang merupakan upaya memaksimalkan peringatan dini terhadap kejadian vorteks guna memastikan jalur koordinasi dan komunikasi di daerah dengan kesigapan maksimal dan meminimalisasi dampak perubahan iklim.
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023