• Beranda
  • Berita
  • Perintis AI peringatkan ancaman AI lebih mendesak untuk disikapi

Perintis AI peringatkan ancaman AI lebih mendesak untuk disikapi

6 Mei 2023 15:51 WIB
Perintis AI peringatkan ancaman AI lebih mendesak untuk disikapi
Arsip Foto - Pelopor kecerdasan buatan (AI) Geoffrey Hinton berbicara pada Thomson Reuters Financial and Risk Summit di Toronto, Senin (4/12/2017). ANTARA/REUTERS/Mark Blinch/as/am.
Perintis kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) Geoffrey Hinton menyatakan AI menghadirkan ancaman yang lebih mendesak ketimbang perubahan iklim.

Orang yang dikenal luas sebagai salah satu "bapak kecerdasan buatan" itu baru-baru ini mengumumkan keluar dari Alphabet setelah satu dekade bekerja di perusahaan tersebut. 

Hinton memutuskan keluar agar dapat berbicara lebih bebas tentang bahaya teknologi itu.

Terobosan Hinton tentang neural network dianggap penting bagi pengembangan sistem-sistem AI masa kini. 

Neural network adalah sistem dalam kecerdasan buatan yang bekerja seperti otak manusia dalam mengajarkan komputer untuk memproses data.

Hinton kini menjadi salah satu di antara sekian banyak pemimpin teknologi yang terang-terangan mengutarakan kekhawatiran terhadap bahaya yang dapat muncul dari perkembangan AI jika teknologi itu menjadi lebih cerdas daripada manusia dan mengendalikan planet ini.

"Saya tidak ingin meragukan (ancaman) perubahan iklim. Saya tidak ingin mengatakan, 'Anda tidak perlu khawatir tentang perubahan iklim.' Itu juga risiko yang sangat besar," kata Hinton dalam wawancara bersama Reuters, Jumat waktu setempat.

Baca juga: Joe Biden temui Microsoft hingga Google bahas bahaya AI

"Tapi saya kira ini (ancaman AI) mungkin akan semakin mendesak," ujar dia.

Dia menambahkan banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah perubahan iklim, tetapi tidak demikian dengan AI. 

Menurut dia, belum diketahui apa yang dapat dilakukan oleh umat manusia guna  menghentikan bahaya teknologi tersebut.

Persaingan teknologi AI dimulai November tahun lalu ketika ChatGPT, yang merupakan produk OpenAI, diluncurkan kepada publik.

Aplikasi tersebut mencatat pertumbuhan tercepat sepanjang masa, mencapai 100 juta pengguna setiap bulan dalam waktu dua bulan.

Pada April, CEO Twitter Elon Musk bergabung dengan ribuan orang yang menandatangani surat terbuka yang menyerukan jeda enam bulan dalam pengembangan sistem AI yang lebih kuat daripada GPT-4 OpenAI yang baru diluncurkan.

Mereka yang ikut menandatangani surat tersebut antara lain CEO Stability AI Emad Mostaque, peneliti-peneliti DeepMind milik Alphabet, dan perintis AI lainnya Yoshua Bengio dan Stuart Russell.

Baca juga: Perintis AI Google mundur agar bisa bicara bebas tentang bahaya AI

Hinton justru mengkhawatirkan surat terbuka ini karena menurut dia, AI dapat menjadi ancaman sangat nyata bagi kelangsungan hidup umat manusia. Dia menyatakan tidak setuju dengan ide pemberhentian penelitian perkembangan AI, yang disebutnya tidak realistis.

"Kita kini harus bekerja sangat keras  dan mengerahkan banyak sumber daya guna  mencari tahu apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasinya," kata dia.

Di Uni Eropa, sebuah komisi parlemen yang menanggapi surat yang didukung Musk, menyerukan Presiden Amerika Serikat Joe Biden agar mengadakan pertemuan puncak global guna membahas arah masa depan teknologi, bersama Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

Pekan lalu, komisi ini menyetujui serangkaian usulan yang menyasar AI generatif, yang akan memaksa perusahaan-perusahaan seperti OpenAI mengungkapkan materi hak cipta yang digunakan untuk mengembangkan sistem mereka.

Biden sendiri telah berbicara dengan sejumlah pemimpin perusahaan AI, termasuk CEO Alphabet Sundar Pichai dan CEO OpenAI Sam Altman di Gedung Putih. Dia menjanjikan "diskusi yang jujur dan konstruktif" tentang perlunya perusahaan-perusahaan untuk lebih transparan tentang sistem mereka.

"Para pemimpin teknologi memiliki pemahaman baik tentang itu, dan politisi harus terlibat. Itu akan mempengaruhi kita semua sehingga kita semua harus turut memikirkannya," kata Hinton.

Baca juga: ChatGPT dan dilema kecerdasan buatan

Sumber: Reuters
 

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2023