"Saya kira pemerintahan yang lalu sudah mulai banyak membangun taman ya. Banyak tempat untuk orang berjalan kaki. Justru harusnya budaya jalan kakinya yang diperbanyak," kata Tajuddin ketika dihubungi di Jakarta, Senin.
Guru besar yang berkutat di bidang Teknik dan Manajemen Lingkungan itu mengatakan bahwa meskipun jarak suatu tempat dekat, orang sering lebih memilih untuk naik motor atau angkot.
"Kenapa tidak jalan? Karena mungkin tidak nyaman," dia menjelaskan.
Untuk membuat orang nyaman, ujarnya, penghijauan atau taman perlu diperbanyak. Dia mencontohkan bahwa di Jepang, bangunan-bangunannya, seperti motel, hotel, restoran, dan lain-lain, di atap-atapnya serta samping-sampingnya ditanami tumbuhan hijau. Menurutnya, penghijauan akan membantu penyerapan CO2, nitrat dan nitrit.
"Saya kira itu harus, itu wajib. Karena kan tidak mungkin juga kita tidak menghasilkan polutan," dia menegaskan.
Menurutnya, perusahaan yang mengembangkan bangunan hijau semacam itu perlu diberikan insentif. Pembangunan seperti itu perlu segera digencarkan, dia menambahkan.
Selain itu, ujar Tajuddin, pemerintah perlu menjamin kenyamanan serta keamanan transportasi publik agar orang tertarik untuk naik transportasi publik.
"(Partikulat/partikel halus sangat kecil) masih banyak dihasilkan dari kendaraan, dari pabrik, dan sebagainya. Padahal itu salah satu polutan udara yang paling mudah dikendalikan kan dengan menggunakan teknologi," dia menambahkan.
Teknologi tersebut, katanya, perlu digunakan secara baik agar dapat mengurangi polusi dari industri, kendaraan, juga pertambangan.
Untuk mengurangi tingkat polusi di Jakarta, orang perlu naik transportasi publik agar tidak banyak menggunakan kendaraan pribadi, kata Anggota DPRD Komisi B Taufik Zoelkifli ketika dihubungi di Jakarta.
"Jadi bagaimana caranya supaya orang itu enggak banyak naik mobil pribadi. Artinya mereka harus menggunakan transportasi publik. TransJakarta, atau kalau sekarang LRT kan sudah ada yang Jabodebek. Jadi itu dimanfaatkan sehingga berkurang tuh emisi dari kendaraan pribadi," kata Taufik.
Menurutnya, upaya untuk mengurangi tingkat polusi di ibu kota harus dilakukan secara menyeluruh. Upaya-upaya lain yang bisa dilakukan, kata dia, termasuk uji emisi serta menanam pohon.
Pengkampanye iklim dan energi Greenpeace Bondan Andriyanu mengatakan dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta bahwa kewajiban untuk memonitor keadaan polusi di Jakarta bukan jadi tanggungjawab DKI Jakarta saja. Wilayah penyangga, seperti Jawa Barat dan Banten, punya kewajiban yang sama untuk menyediakan data polusi di wilayah masing-masing dengan cara membangun stasiun pemantau yang representatif.
Menurut Bondan, daerah sekitar Jakarta perlu alat pemantau yang banyak agar bisa mewakili satu wilayahnya.
"Bahkan saat ini Depok mengakui bahwa satu Depok itu butuh 50 alat pantau, tapi saat ini hanya ada satu, jauh dari kata 'cukup'," dia menjelaskan.
Selanjutnya, setelah ada alat-alatnya, perlu dilakukan riset untuk mengetahui sumber-sumber pencemar udara ini, agar bisa tahu upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk menangani hal tersebut.
Menurut situs IQAir, pada Senin, 4 September, indeks kualitas udara Jakarta tercatat pada angka 153, yang dinilai sebagai tidak sehat. Angka tersebut 12 kali lipat dari batas konsentrasi PM2,5 yang dianjurkan WHO.
Baca juga: Walhi: Kabut air tidak efektif untuk kurangi polusi udara di Jakarta
Baca juga: Warga DKI bisa lapor pembakar sampah lewat aplikasi JAKI
Baca juga: PLN pasang generator air buatan BRIN di kantor pusat tekan polusi udara
Pewarta: Mecca Yumna
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2023