Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan luas hutan adat Aceh yang hak kelolanya dipegang oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Aceh seluas 22.549 hektare dari usulan awal 105.147 hektare.Terkadang di lapangan, di Aceh sendiri terkesan 'dilemahkan' dengan berbagai catatan oleh sejumlah pihak.
"Masing-masing 5.437 hektare di Aceh Jaya, 8.274 hektare Pidie, dan 8.838 hektare di Bireuen, jumlahnya 22.549 hektare," kata Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal KLHK Yuli Prasetyo Nugroho yang dihubungi dari Banda Aceh, Kamis.
Angka yang diberikan tersebut jauh dari luas yang diusulkan oleh MHA setempat yakni seluas 18.015 hektare dari Pidie, 69.246 hektare untuk Aceh Jaya, dan 17.886 hektare di Kabupaten Bireuen.
Prasetyo yang juga Koordinator Tim Terpadu Verifikasi Usulan Hutan Adat di Aceh itu mengatakan luas yang ditetapkan itu tidak sesuai dengan usulan MHA. Hal itu karena hasil verifikasi ditemukan banyak peta usulan tidak dilakukan proses partisipasi sampai tingkat bawah dengan baik.
Baca juga: LSM apresiasi pemerintah atas penetapan hutan adat Aceh
Baca juga: KLHK resmi akui keberadaan delapan hutan adat di Aceh
"Pada saat di lapangan, tim menemukan bahwa banyak masyarakat yang tidak terlibat dalam proses pemetaan usulan tersebut sehingga, hal ini yang kita diskusikan bersama tim dan klarifikasi dengan berbagai pihak diperlukan," ujarnya.
Prasetyo menyampaikan hutan adat sendiri adalah pengembalian hak tenurial hutan, berbeda dengan persetujuan dan pemberian izin. Karena itu, harus tepat secara budaya, ilmiah, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Konsep hutan adat itu, kata dia, adalah ruang hutan yang dikelola sampai hari ini baik sebagai hutan bersama, agroforestri, maupun kebun campuran yang masih dominan dengan tegakan hutan, dilihat dalam perspektif ekologis dan antropologis.
Lanjutnya, selama verifikasi usulan luas hutan adat Aceh, pihaknya tidak hanya menggunakan proses pendekatan teknokratik kehutanan tetapi juga pendekatan antropologi dan sosiologi yang mendalam.
"Semua didiskusikan secara terbuka bersama masyarakat dan disepakati luas serta fungsinya, karena ada juga yang berfungsi lindung selain sebagian besar sebagai ekonomi untuk kesejahteraan MHA itu sendiri," katanya.
Selain itu, pihaknya juga melakukan proses edukasi mengenai peta wilayah adat untuk mencari "emik" atau pandangan asli dari masyarakat mengenai wilayah adatnya. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pertimbangan penetapan luas hutan adat.
"Menemukan kategori lokal sangat penting. Ada tiga hal penting dalam masyarakat mukim dan gampong yaitu kebun, sawah, dan ternak," ujar Prasetyo.
Dalam kesempatan ini, Ketua Tim Peneliti Hutan Adat Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Teuku Muttaqin Mansur menegaskan pihaknya tidak mempersoalkan penetapan hutan adat Aceh yang jumlahnya tidak sesuai dengan usulan.
Karena, hal paling penting adalah negara mengakui mukim sebagai masyarakat hukum adat dan subjek, lalu pada masa yang sama memiliki objek berupa harta kekayaan mukim. Salah satunya hutan adat yang baru ditetapkan ini.
"Imum Mukim juga mengatakan, walaupun hanya 1.000 meter saja diakui kita sudah mengucapkan syukur Alhamdulillah karena mukim diakui dan dihargai oleh negara," katanya.
Ia menyampaikan penetapan hutan adat Aceh ini merupakan momentum mengangkat kembali marwah dan martabat Aceh sesuai dengan historis, yakni UU 44/1999, MOU Helsinki, dan UUPA.
"Terkadang di lapangan, di Aceh sendiri terkesan 'dilemahkan' dengan berbagai catatan oleh sejumlah pihak," demikian Muttaqin.*
Baca juga: Masyarakat hutan adat Aceh: Verifikasi jadi babak penentuan bagi kami
Baca juga: KLHK jadikan kajian peneliti USK untuk bentuk tim hutan adat Aceh
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023