Perubahan iklim ini nyata sudah kita rasakan sehingga pengembang perumahan diminta untuk lebih peduli dan mulai menerapkan green building dalam pembangunannya
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai perubahan iklim yang sudah sangat drastis selama tiga puluh tahun terakhir semestinya harus menjadi alasan bagi Indonesia, untuk memprioritaskan pengembangan green building atau hunian layak berbasis ramah lingkungan.
"Perubahan iklim ini nyata sudah kita rasakan sehingga pengembang perumahan diminta untuk lebih peduli dan mulai menerapkan green building dalam pembangunannya," kata Koordinator Bidang Iklim Terapan BMKG Marjuki di Jakarta, Rabu.
Pernyataan tersebut disampaikan Marjuki dalam diskusi daring goodmoney.id yang bertajuk “Properti, Asuransi Serta Prediksi Panas Bumi Bagaimana Harus Mengantisipasi nya?”.
Menurut Marjuki, salah satu dampak nyata dari perubahan iklim adalah kekeringan yang dibuktikan dengan hari tanpa hujan di sebagian besar daerah yang sudah berlangsung sejak Juli hingga awal tahun depan.
Bahkan, BMKG mencatat per September 2023 merupakan bulan terpanas sepanjang masa, dengan suhu rata-rata global meningkat menjadi 36-38 derajat celcius atau mencapai rata-rata 1,5 derajat celsius di atas era pra-industri.
Kenaikan suhu bumi tersebut akibat produksi emisi gas rumah kaca dan diperparah dengan aktifnya badai El-Nino di samudera pasifik.
Hal ini telah menyebabkan berbagai dampak seperti kekeringan meningkat 1,7 kali dan disertai peningkatan polusi udara yang dapat berimplikasi penurunan kesehatan penduduk.
Oleh sebab itu, BMKG menilai masyarakat perlu diperkenalkan dengan green building karena dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim tersebut.
Green building menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan, seperti penghematan energi, penghematan air, dan penggunaan bahan bangunan yang ramah lingkungan.
Salah satu contoh green building di Indonesia adalah perumahan dan rumah susun di Tegal, Jawa Tengah. Perumahan ini menerapkan berbagai prinsip ramah lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan, konservasi air, dan pengelolaan limbah yang baik.
Di sisi lain, dia menjabarkan, semua pihak harus menyadari dalam upaya mitigasi perubahan iklim tidak hanya terkonsentrasi pada pemanfaatan sumber daya energi, dan sektor ketahanan pangan. Namun, juga termasuk penyediaan hunian layak sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat.
Diketahui, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 melaporkan jumlah perumahan di Indonesia mencapai 118,9 juta unit. Jumlah ini meningkat sebesar 2,9 persen dari tahun sebelumnya.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 70,1 juta unit merupakan rumah tinggal tunggal, 29,5 juta unit merupakan rumah tinggal susun, dan 9,3 juta unit merupakan rumah tinggal lainnya.
Jumlah perumahan terbesar terdapat di Pulau Jawa, yaitu sebanyak 64,8 juta unit. Kemudian diikuti oleh Pulau Sumatra dengan 28,2 juta unit, Pulau Kalimantan dengan 12,7 juta unit, Pulau Sulawesi dengan 12,4 juta unit, Pulau Bali dan Nusa Tenggara dengan 5,8 juta unit, dan Pulau Papua dengan 1,1 juta unit.
Maka dari itu, dia berharap dengan informasi ini para pengembang perumahan dapat lebih memahami pentingnya green building dan mulai menerapkan nya dalam pembangunan.
Hanya saja, menurutnya, para pakar berasumsi bahwa dalam hal ini kehadiran kolaborasi pemerintah-swasta terkait penyesuaian terkait finansial harus difikirkan dan juga sangat dinantikan sehingga seluruh kalangan masyarakat dapat mendapatkan manfaat green building itu.
Baca juga: Bangunan Hijau, solusi efisiensi energi gedung tinggi
Baca juga: BMKG tingkatkan literasi petani terhadap iklim, cegah krisis pangan
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Sella Panduarsa Gareta
Copyright © ANTARA 2023