"Kita lihat memang kondisi market saat ini memang dalam kondisi yang lebih fear karena berbagai sentimen global, salah satunya perlambatan pertumbuhan ekonomi China dan Amerika," katanya dalam acara webinar "Road to 2024: Market Outlook" yang digelar Sinarmas Sekuritas di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan, sensitivitas pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi China saat ini relatif lebih tinggi dibandingkan perekonomian Amerika dan Uni Eropa.
Ekonomi China memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan Amerika dan Uni Eropa maupun ekonomi kawasan untuk Asia Pasifik. Dengan demikian, jika terjadi perlambatan akan membuat ekonomi Indonesia menurun atau terkoreksi.
Ia menyebutkan, ada dua skenario yaitu pertama, jika pertumbuhan ekonomi China menurun 0,90 persen dan Amerika menurun 0,96 persen, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terkoreksi 0,09 persen.
Skenario kedua, jika pertumbuhan ekonomi China turun 1,8 persen dan Amerika resesi atau turun 2,13 persen maka ekonomi Indonesia terkoreksi 0,2 persen.
Ia mengatakan, dari berbagai sentimen yang ada termasuk peperangan dan pelemahan rupiah, terlihat memang kondisi pasar saham sedang takut.
"Tetapi seperti kata Warren Buffet ketika market takut di situ lah time to buy atau entry point yang cukup baik," katanya.
Lebih lanjut, Anjalu mengatakan, ke depan, terdapat potensi penguatan atau market bullish karena posisi kas investor (private client cash) yang cukup tinggi pada Oktober 2023.
"Dari historis-nya, setiap posisi kas global tinggi, ini biasanya market akan mengalami rally untuk berikut," ujar Anjalu.
Baca juga: IHSG ditutup menguat, pasar merespons sikap 'dovish' The Fed
Baca juga: Analis: Pasar saham Indonesia menguat berkat Fed tahan suku bunga
Baca juga: Analis sebut tiga instrumen investasi berpeluang untung pada 2024
Pewarta: Aloysius Lewokeda
Editor: Citro Atmoko
Copyright © ANTARA 2023