• Beranda
  • Berita
  • UNHCR: Rohingya masih terancam kekerasan dan penganiayaan di Myanmar

UNHCR: Rohingya masih terancam kekerasan dan penganiayaan di Myanmar

5 Juli 2018 05:30 WIB
UNHCR: Rohingya masih terancam kekerasan dan penganiayaan di Myanmar
Pengungsi Rohingya membawa spanduk saat anggota Dewan Keamanan PBB mengunjungi Kamp Pengungsi Kutupalong di Cox's Bazar, Bangladesh, Minggu (29/4/2018). (REUTERS)
Jenewa (ANTARA News) - Kepala Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), Zeid Ra'ad al-Hussein, pada Rabu (4/7) di Jenewa, menyatakan etnis Muslim Rohingya masih terus berusaha mengungsikan diri dari negara bagian Rakhine Myanmar dan banyak yang bersaksi tentang ancaman kekerasan, penganiayaan, pembunuhan dan pembakaran rumah mereka.

Menurut Zein, sepanjang 2018 sedikitnya 11.432 orang etnis Rohingya telah menyeberang ke Bangladesh, di mana 700 ribu orang lainnya telah menyelamatkan diri dari penindasan militer Myanmar pada Agustus 2017 di Rakhine di utara Myanmar.

"Tidak ada retorika yang dapat menutupi fakta-fakta ini. Orang-orang masih berlarian menghindari penganiayaan di Rakhine - dan bahkan bersedia mengambil risiko mati di laut untuk menyelamatkan diri," kata Zeid di hadapan UNHCR di Jenewa.

Banyak pengungsi Rohingya juga melaporkan bahwa mereka ditekan otoritas Myanmar untuk menerima kartu verifikasi nasional, yang mengatakan mereka perlu mengajukan permohonan kewarganegaraan, katanya.

Masalah kewarganegaraan adalah inti dari diskusi tentang status mereka, ungkap Zeid.

Ia menambahkan bahwa kartu-kartu itu "menandai Rohingya sebagai nonwarga negara, sesuai dengan karakterisasi pemerintah mereka sebagai orang asing di tanah air mereka sendiri."

Baca juga: Tujuh pengungsi Rohingya diamankan TNI AL Dumai

Baca juga: Rangkaian pembunuhan buat kampung pengungsi Rohingya di Bangladesh mencekam

Baca juga: Bank Dunia sediakan 480 juta dolar untuk bantu pengungsi Rohingya


Pihak berwenang di Myanmar, negara mayoritas penduduknya beragama Buddha, menyangkal melakukan pelanggaran HAM skala besar. Pihak berwenang mengatakan tindakan keras di Rakhine adalah tanggapan yang diperlukan untuk menangani kekerasan kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang menyerang pos keamanan Myanmar.

Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Myanmar, Kyaw Moe Tun, mengatakan prioritas utama bagi pemerintahannya adalah untuk menemukan "penyelesaian berkelanjutan" di Rakhine. Kementerian sepakat dengan Bangladesh pada Januari 2018 bahwa pemulangan kembali pengungsi akan selesai dalam waktu dua tahun, katanya, tanpa menggunakan kata Rohingya.

Dia menyebut laporan Zeid mengandung informasi yang "menyimpang atau berlebihan."

"Akar penyebab tragedi itu adalah terorisme dan terorisme tidak bisa dimaafkan dalam keadaan apa pun," kata Kyaw.

Pewarta: Antara
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018