Jakarta (ANTARA News) - Aktor Ario Bayu tak merasa asing dengan sosok dan profesi polisi. Sang kakek adalah polisi di era pemerintahan Presiden Soekarno.Kakek saya itu seorang polisi, Brigadir Jenderal. Tetapi zaman Soekarno...
Saat berkunjung ke kantor berita Antara di Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, Kamis (5/7), Ario bersedia berbagi pandangan mengenai sosok yang dia sebut garda keselamatan itu.
Seperti apa kiprah kakek saat bertugas menjadi polisi?
Kakek saya itu seorang polisi, Brigadir Jenderal. Tetapi zaman Soekarno. Seringkali kalau nenek saya cerita, itu dedikasinya kakek kamu, kalau om saya cerita, luar biasa.
Apa pandangan Anda soal polisi masa kini?
Saya tidak melihat institusinya. Institusi itu hanya sebagai atribut materi. Tetapi rohnya ada di orang-orang yang menjalankan institusi itu. Jadi kalau institusi itu tidak dijalankan dengan baik, atau tidak memiliki orang-orang didalamnya tidak baik, saya rasa institusi itu tidak akan mendapat pandangan yang baik.
Persepsi saya soal polisi? Saya harus mengenali dulu siapa dirinya. Saya enggak bisa begitu mengkritisi secara konstruktif ataupun negatif.
Jadi seperti apa Anda memandang sosok polisi?
Terkadang kita selalu melihat entah itu seseorang atau cerita dari satu pandangan. Kita tidak tahu bahwa manusia juga kan punya cerita, pengalaman, rasa, pemikiran, atributnya banyak.
Saat kita sudah terstigmakan misalnya polisi itu X, kayaknya terlalu picik saya rasa untuk kita memandang.
Jadi, ini alasan Anda memerankan tokoh polisi dalam film 22 Menit?
AKBP Ardi, dia seorang manusia di balik seragamnya dan di balik persenjataan dan ilmu kepolisian yang dia punya itu dia seorang bapak, seorang suami, teman, kakak, anak. Sama seperti manusia pada umumnya.
Jadi, istilahnya dari aspek itu akan lebih menarik, tidak dari satu sisi saja. Polisi itu ada kemanusiaannya di dalam situ.
Baca juga: "22 Menit", film tentang bom Thamrin
Seperti apa karakter Ardi itu?
Ardi ini adalah sosok family man. Saya rasa dia betul-betul memiliki nilai-nilai kekeluargaan. Dia itu sangat sayang pada anaknya dan sangat mencintai istrinya. Dia betul-betul family man, tetapi Ardi itu bekerja sebagai polisi.
Jadi ada dikotomi antara family values yang dimiliki Ardi, tetapi ada juga Ardi sebagai polisi yang memiliki duty sebagai garda keselamatan untuk dalam negeri. Ada dua aspek itu dari diri Ardi yang saya rasa cukup menarik untuk dimainkan.
Berperan sebagai polisi latihan apa saja yang Anda jalani?
Ada proses latihan untuk penyesuaian diri. Saya pernah punya pengalaman di film action lainnya, di mana saya harus memakai senjafa asli, peluru asli, simulasi asli. Di sini sama. Sebulan sebelum syuting itu latihan betul-betul seperti elite force polisi beneran.
Misalnya?
Dari segi taktis, menetralisir sebuah situasi atau khususnya tentang terorisme, bagaimana saya bisa menanggulangi sebuah situasi yang ada terorisnya.
Dari loading senjata, memegang senjata, dari sangat simpel dari hanya soal disiplin bahwa kami tahu ada pistol di sini. Ada benda yang bisa menyelamatkan atau mengambil nyawa di dalam badan kita. Dengan pengetahuan itu saja berat. Itu saya diajari. Jadi, ada pelatihan psikisis, kontrol emosi.
Saya kayak zaman dulu anak kecil, wah akhirnya bisa main tembak-tembakan tetapi di sini beneran.
Baca juga: Ario Bayu belajar pegang senjata untuk "22 Menit"
Ada olah raga khusus selama syuting?
Olah raga enggak sih. Mungkin karena di sana sudah capek. Pegang senjata capek sekali. Ada kali tiga minggu itu khusus latihan dengan pistol, loading senjata, megang senjata, cara jalan agar tidak bisa terdengar. Jadi ada banyak sekali. Formasi dengan tim.
Apa yang ingin Anda tonjolkan melalui karakter Ardi?
Kami ingin mengedepankan realisme. Jadi, kami ingin se-real mungkin. Penonton bisa melihat filmnya, juga terbawa dalam story yang kami tayangkan.
Dilatih polisi sungguhan selama latihan fisik, kesan Anda?
Polisi sangat disiplin, prosedural. Di saat mereka harus tunggu mereka akan tunggu. Saat take ya take. Sangat profesional, membantu film ini mendapatkan suasana yang betul-betul dunia nyata.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018