Dari hasil penelitian sejak tahun 2017 keragaman jenis kepiting di CATP hanya 22 spesies, yang tergolong dalam keragaman sedang serta tidak ditemukan lagi kepiting yang bernilai ekonomi tinggi.
Ke-22 spesies yang ditemukan tersebut meliputi tujuh famili yakni Gecarcinidae, Grapsidae, Ocypodidae, Oziidae, Portunidae, Sesarmidae dan Varunidae.
"Kepiting yang dominan ditemukan di lokasi survei adalah jenis Perisesarma eumolpe, namun kepiting ini tidak dapat dikonsumsi. Sedangkan kepiting yang dapat dikonsumsi dan merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti Scylla sp, jarang dijumpai di kawasan ini," ungkapnya di Gorontalo, Senin.
Mangrove merupakan habitat ideal bagi kepiting serta memiliki peran ekologi dan ekonomi yang besar bagi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.
Nurain meneliti kepiting di CATP sejak tahun 2017, dengan mengambil sampel di Desa Siduwonge dan Desa Patuhu.
Menurutnya jenis-jenis kepiting mangrove memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, namun akan menghindari bila habitatnya terganggu aktivitas manusia.
Ia menambahkan, degradasi lahan yakni konversi mangrove menjadi tambak di kawasan itu, merupakan penyebab utama rendahnya keanekaragaman dan kemelimpahan kepiting tersebut sehingga dibutuhkan pemulihan kondisi habitat.
"Tambak tidak mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting, namun sebaliknya justru tambak ini yang menghilangkan habitat alaminya," tukas Nurain.
Sebelumnya, Ketua Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KMMD) Provinsi Gorontalo Rahman Dako mengatakan status Cagar Alam Tanjung Panjang harus dipertahankan meskipun telah banyak dikonversi menjadi tambak.
Menurutnya sekitar 80 persen dari luas CATP sebesar tiga ribu hektare kini berubah menjadi lahan bisnis tambak.
"Sejarah degradasi CATP sudah lama yang puncaknya pada tahun 2000an, sehingga butuh waktu lama untuk memulihkan kondisinya," imbuhnya.
Ia mengungkapkan banyak pihak yang berperan dalam alih fungsi CATP dan saat ini kepemilikan tambak didominasi oleh warga yang berasal dari luar Gorontalo.
"Pemerintah pusat sebagai pemegang otoritas kawasan, justru cenderung membiarkan kawasan ini dialihfungsikan, termasuk inkonsistensi pemda dalam memperlakukan petani tambak. Misalnya mereka malah memungut pajak pada tanah objek perselisihan,"
Baca juga: 80 persen Cagar Alam Tanjung Panjang di Pohuwato berubah jadi tambak
Baca juga: Tambak Hancurkan Cagar Alam Tanjung Panjang Pohuwato
Pewarta: Debby H. Mano
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018