• Beranda
  • Berita
  • Mantan Kepala BPBD didakwa selewengkan anggaran penanggulangan kebakaran hutan

Mantan Kepala BPBD didakwa selewengkan anggaran penanggulangan kebakaran hutan

10 Agustus 2018 00:43 WIB
Mantan Kepala BPBD didakwa selewengkan anggaran penanggulangan kebakaran hutan
Petugas gabungan dari BPBD Ogan Ilir dan Manggala Agni Daops Banyuasin melakukan pemadaman kebakaran lahan saat simulasi pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di posko pemantau Pegayut, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Senin (30/7/2018). Mereka berlatih untuk meningkatkan kesiapan Satgas Karhutla memadamkan titik api yang muncul di wilayah Ogan Ilir. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Pekanbaru (ANTARA News) - Mantan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Dumai, Provinsi Riau, didakwa menyelewengkan anggaran penangulangan kebakaran hutan dan lahan senilai Rp731 juta.

Dakwaan yang dihadapkan kepada Noviar Indra Putra Nasution, eks Kalaksa BPBD Dumai tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pekanbaru.

"Perbuatan terdakwa dilakukan pada Januari hingga Desember 2014," kata JPU Kejari Dumai, Jendra Firdaus dalam membacakan nota dakwaan, Kamis (9/8) petang.

Selain terdakwa Indra, dalam persidangan yang sama turut hadir dua terdakwa lainnya. Keduanya adalah Suherlina selaku Kasi Kedaruratan dan Widawati bendahara BPBD Dumai.

Dalam nota dakwaannya yang dibacakan di hadapan majelis hakim yang diketuai Bambang Myanto serta hakim anggota, Dahlia Panjaitan dan Hendri, menyebutkan, pada 4 Maret 2014, Wali Kota Dumai menetapkan status tanggap darurat terhadap bencana karhutla. Status itu diperpanjang hingga 4 April 2014.

Tanggap darurat itu ditetapkan menyusul bencana Karhutla hebat hingga menyebabkan kabut asap tebal menyelimuti seluruh kota di pesisir Riau tersebut.

Dari penetapan status tanggap darurat itu, BPBD Dumai lalu menerima bantuan penanggulangan bencana dari BNPB sebesar Rp731 juta lebih. Dana itu sejatinya diperuntukkan untuk kegiatan membeli masker, makanan minuman dan honor pegawai.

Dalam pelaksanaannya, dana itu dicairkan dua tahap. Tahap pertama dicairkan sebesar Rp150 juta dan sisanya tahap kedua. Terdakwa Noviar dan Suherdina mencairkan dana melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI). Setelah dana cair, diserahkan kepada Widawati.

"Seharusnya terdakwa (Noviar) menunjuk PPK untuk kegiatan itu dan membuat rekening pemerintah. Namun, terdakwa melakukan sendiri seolah-olah sebagai PPK," ujar Jendra yang juga merupakan Kasipsus Kejari Dumai tersebut.

Terdakwa Noviar lalu membuat dana seolah-olah telah dimanfaatkan seluruhnya. Sementara pada kenyataannya, tidak pernah dilakukan pembelian masker dan pengadaan makan serta minum dilakukan sendiri oleh terdakwa.

"Pengadaan dilakukan sendiri oleh para terdakwa, tanpa menunjuk pihak ketiga," ungkap JPU.

Pelaksanaa kegiatan itu juga tidak pernah dilaporkan ke BNPB. Akibat perbuatan ketiga terdakwa, negara dirugikan sebesar Rp219 juta.

Atas perbuatannya, ketiga terdakwa dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal (3), jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Usai mendengarkan dakwaan, terdakwa Indra dan Suherlina menyatakan menerima dan tidak mengajukan eksepsi. Sementara terdakwa Widawati, belum menentukan langkah hukum karena pengacaranya tidak hadir.

"Untuk tersangka Noviar dan Suherlina, sidang dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda meminta keterangan saksi. Bagi terdakwa Widawati, sampaikan pada penasehat hukumnya, mau melakukan eksepsi atau tidak," kata Bambang.

Baca juga: Sukseskan Asian Games, Riau cegah karhutla
Baca juga: 10 titik panas terdeteksi di Aceh


 

Pewarta: Bayu Agustari Adha
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018