Menelusuri sejarah Kebaya Encim

11 Agustus 2018 22:01 WIB
Menelusuri sejarah Kebaya Encim
Antropolog dan konsultan budaya Diyah Wara berbincang tentang Sejarah Kebaya Encim dalam festival budaya "Betawi Hari Ini" yang digelar di Jakarta, Sabtu (11/8/2018). (ANTARA News/Arindra Meodia)
Jakarta (ANTARA News) - Kebaya Encim, baju tradisional yang identik dengan peranakan Tionghoa dan dekat dengan budaya Betawi, ternyata memiliki sejarah yang panjang.

Kata Encim, menurut antropolog Diyah Wara, berasal dari bahasa Hokkien -- sub-etnis dari salah satu etnisTionghoa, yang paling banyak di Nusantara-- yang berarti bibi.

"Jadi, dulu perempuan-perempuan China waktu pakai itu (kebaya), sama orang dibilang "Oh, kebaya yang dipakai si Encim," lama-lama disebut kebaya Encim," ujar Diyah dalam festival budaya "Betawi Hari Ini" yang digelar di Jakarta, Sabtu.

Namun, jauh sebelum dikenakan oleh orang Tionghoa, kebaya ternyata telah lebih dahulu dipakai oleh perempuan-perempuan Eropa.

Diyah mengatakan bahwa Kebaya sebenarnya berasal dari baju panjang, yang kemudian dimodifikasi oleh perempuan-perempuan Belanda, disesuaikan dengan iklim yang ada di Batavia.

"Karena mereka kalau pakai gaun-gaun Eropa berat, dan harus jalan di Batavia yang panas itu mereka tidak tahan," kata Diyah.

Tak hanya kebaya, perempuan Eropa ternyata juga mengenakan kain sarung untuk dipadupadankan dengan kebaya.

Jika saat ini kain tersebut bermotif batik yang berasal dari budaya Jawa, seperti motif parang yang identik dengan warna sogan, perempuan Eropa kala itu juga punya "batik"-nya sendiri.

Mereka membuat batik dengan warna biru dan ungu, yang merupakan waran Eropa, dengan motif bunga.

"Bunganya juga bunga Eropa, seperti Tulip, lalu diaplikasikan ke kain," ujar Diyah.

Baca juga: Lebih dekat dengan budaya Betawi lewat "Betawi Hari Ini"

Percampuran budaya
Pecahnya Perang Diponegoro, yang dikenal dengan sebutan Perang Jawa, pada 1830, dianggap pula runtuhnya peradaban Jawa, yang menurut Diyah menjadi pemicu munculnya budaya campuran -- salah satu hasilnya adalah kebaya.

Kebaya yang dikenakan perempuan-perempuan Eropa tersebut kemudian dikenakan pula oleh orang Tionghoa, namun disesuaikan dengan budaya Tionghoa.

Kebaya orang Belanda yang hanya berwarna putih -- karena putih bagi budaya Eropa melambangkan kesucian, kemuliaan, dan kejayaan -- dimodifikasi dengan lebih berwarna-warni.

"Dalam tradisi Tionghoa, putih itu berarti duka dan kesedihan. Perempuan Tionghoa berpikir itu tidak bagus, jadi dikasih motif," kata Diyah.

"Sejalan dengan adanya perkembangan perwarnaan, kebaya kemudian diwarnai sesuai dengan warna keberuntungan mereka, yang kebanyakan adalah merah, kuning, hijau dan oranye," sambung dia.

Hal itu, menurut Diyah, dikarenakan orang Tionghoa tidak bisa lepas dari tradisi leluluhur. Saat menghadiri perayaan Imlek atau Cap Go Meh misalnya, biasa mengenakan pakaian yang menyimbolkan warna keberuntungan atau harapan yang baik.

Selain warna, desain potongan kebaya yang berbentuk persegi ternyata juga memiliki makna.

"Persegi itu bentuk sempurna, bentuk kokoh, bangku ada dua kaki enggak bisa berdiri sempurna, namun dengan empat kaki dapat tegak berdiri," ujar Diyah.

Tidak seperti kebaya perempuan Eropa, orang Tionghoa juga memberi motif dalam kebaya mereka, mulai dari motif bunga hingga hewan.

"Motif yang sesuai dengan tradisi Tionghoa bunga persik, bunga anyelir. Ada juga motif binatang, seperti burung merak menggambarkan kebahagian, burung phoenix menggambarkan kesejahteraan dan kura-kura yang melambangkan panjang umur," kata Diyah.

Kebaya yang sering dipakai oleh perempuan-perempuan Tionghoa di Batavia itu kemudian dikenal dengan sebutan Kebaya Encim.

Kebaya Encim menjadi dekat dengan budaya Betawi karena budaya Betawi sendiri merupakan perpaduan dari berbagai budaya, termasuk Tionghoa.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018