Pengusaha tidak kaget BI naikkan suku bunga

15 Agustus 2018 23:39 WIB
Pengusaha tidak kaget BI naikkan suku bunga
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara (kedua kiri), para Deputi Gubernur Sugeng (kiri), Erwin Rijanto (kedua kanan) dan Rosmaya Hadi bersiap menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (15/8/2018). BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan BI 7-days repo rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,5 persen guna mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Kami tidak kaget atau heran karena kami sudah antisipasi ini menjadi 5,5 persen

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengatakan dunia usaha tidak mengalami kepanikan atas langkah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 0,25 persen menjadi 5,5 persen.

"Kami tidak kaget atau heran karena kami sudah antisipasi ini menjadi 5,5 persen. Selama sudah diantisipasi, bukan suatu hal yang mengakibatkan kami panik," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu malam.

Ia mengatakan bahwa pengusaha sudah menduga ada penaikan suku bunga acuan BI dengan melihat Bank Sentral AS kemungkinan masih akan menaikkan suku bunganya dua kali pada tahun ini.

Oleh karena itu, para pelaku usaha sudah memasukkan faktor peningkatan suku bunga tersebut ke dalam perencanaan. Rosan juga memastikan bahwa tidak ada kepanikan dari pelaku usaha atas langkah yang ditempuh BI tersebut.

Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate 0,25 persen menjadi 5,5 persen untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan dan menarik modal asing dengan harapan meningkatkan daya tarik aset rupiah.

Baca juga: Perbaiki transaksi berjalan, BI naikkan bunga acuan

Kenaikan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate oleh Bank Indonesia dinilai bisa menjadi pilihan paling memungkinkan untuk menjaga nilai rupiah agar tidak melemah lebih dalam dari nilai fundamentalnya.

Rosan menjelaskan dunia usaha memahami bahwa apabila pelemahan rupiah terjadi secara terus-menerus, maka akan muncul potensi peningkatan biaya dana (cost of fund) karena 70 persen bahan baku dari impor.

Menghadapi hal tersebut, dunia usaha memiliki pilihan untuk melakukan efisiensi, membebankannya ke konsumen, atau kombinasi dari keduanya.

"Dengan adanya fasilitas swap jangka panjang, dunia usaha mendapatkan kepastian sehingga perencanaan menjadi lebih pasti. Dunia usaha itu tidak suka ada kejutan, kami ingin kestabilan," ujar Rosan.

Baca juga: Respon kebijakan BI, IHSG ditutup menguat 46,71 poin
Baca juga: Kenaikan suku bunga acuan, picu penguatan rupiah Rp14.593

 

Pewarta: Calvin Basuki
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018