• Beranda
  • Berita
  • Ini tantangan pendidikan kedokteran era revolusi industri 4.0

Ini tantangan pendidikan kedokteran era revolusi industri 4.0

18 Agustus 2018 08:48 WIB
Ini tantangan pendidikan kedokteran era revolusi industri 4.0
Ilustrasi - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengumumkan klasterisasi perguruan tinggi Indonesia tahun 2018 bertepatan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-73 (17/8/2018) (Foto Kemristekdikti)
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristedikti) menyebut penerapan tiga literasi baru untuk pendidikan kedokteran pada era revolusi industri 4.0 menjadi tantangan guna menghasilkan dokter-dokter Indonesia yang memenuhi kebutuhan nasional dan global.

Direktur Penjaminan Mutu Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemristedikti Aris Junaidi dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, mengatakan tantangan baru untuk pendidikan kedokteran tersebut adalah bagaimana menerapkan tiga literasi baru yaitu data, teknologi dan kemanusiaan untuk menghasilkan dokter Indonesia yang mampu beradaptasi dan mampu memenuhi kebutuhan nasional dan global.

Ia menambahkan potret pendidikan kedokteran di Indonesia setelah empat tahun implementasi Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 hingga akhir 2017, Indonesia memiliki 83 Fakultas Kedokteran dengan disparitas kualitas di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan data status akreditasi program studi (program) kedokteran dari LAM-PTKes, terdapat 22 prodi terakreditasi A (27 persen), 37 prodi terakreditasi B (44 persen), dan 24 prodi terakreditasi C (29 persen).

Kemristedikti telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan pemangku kepentingan pendidikan kedokteran dalam upaya standarisasi kualitas input, proses dan output dari pendidikan kedokteran melalui berbagai peraturan, lanjutnya.

Selain status akreditasi, parameter kualitas Fakultas Kedokteran tercermin dari hasil Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Sejak implementasi UKMPPD sebagai exit exam pada 2014, Fakultas Kedokteran dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam menjamin mutu lulusannya sehingga mendorong gerakan perubahan untuk semua civitas akademika dan pemangku kepentingan pendidikan kedokteran.

Setiap lulusan pendidikan kedokteran harus lulus UKMPPD untuk mendapatkan sertifikat profesi dokter dan sertifikat kompetensi dokter, serta melakukan sumpah dokter.

Hal ini untuk memastikan bahwa setiap lulusan telah memenuhi standar kompetensi dokter, yang tidak hanya memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui praktik profesi, tetapi juga mampu menjaga nilai luhur profesi dokter, jelasnya.

Hasil UKMPPD, menurut Aris juga menunjukkan perkembangan yang baik, dan mengindikasikan bahwa intervensi uji kompetensi ini telah mendorong perbaikan input dan proses pembelajaran di tiap Fakultas Kedokteran.

Berdasarkan data dari Panitia Nasional UKMPPD, sejak Agustus 2014 hingga Mei 2018, uji kompetensi ini telah meluluskan sekitar 39.000 dokter, dan menyisakan sekitar 2400 retaker (lebih besar delapan persen dari total peserta yang telah mengikuti UKMPPD).

Di sisi lain, persentase kelulusan UKMPPD mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Dengan Nilai Batas Lulus 66 persen kelulusan 1st taker pada 2014 adalah 67 persen dan meningkat menjadi 73 persen pada akhir 2017, bahkan pada periode Mei 2018 mencapai lebih kecil dari 80 persen.

Ini, menurut dia, menunjukkan adanya perbaikan proses pembelajaran, berbasis umpan balik hasil UKMPPD yang dianalisis per mahasiswa maupun per institusi. Hanya saja masih ada 2.494 yang belum lulus dan masih proses pembinaan.

Baca juga: Kemristedikti umumkan peringkat perguruan tinggi
 

Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018