Warga lebih memilih bertahan di tenda darurat di halaman rumah atau di posko pengungsian setelah sejak Selasa sore sampai malam, kawasan itu diguyur hujan.
Tidak ada suara takbiran dari speaker masjid. Warga masih trauma akan gempa yang berulang-ulang menghajar wilayahnya tersebut.
Yang ada hanya nyala api di depan beberapa tenda darurat milik warga, yang dinyalakan warga untuk menghangatkan tubuhnya mengingat suhu mencapai 10 derajat Celcius.
Jalan aspal mulus Sembalun pun tampak sepi, hanya sesekali terdengar mobil patroli kepolisian yang melakukan pengamanan di kawasan permukiman.
Padahal sebelum gempa bumi 6,4 SR pada 29 Juli 2018, denyut nadi wisata alam pendakian Gunung Rinjani begitu terasa di Sembalun Lawang.
"Apalagi bulan Agustus puncak musim pendakian, saat ini sepi jadi kota hantu," kata tokoh pemuda Sembalun, Rosidin Sembaluhun.
Hal serupa dikatakan oleh Fia, pedagang di Sembalun, yang mengeluhkan sepinya malam takbiran saat ini.
"Kegiatan sekarang paling hanya di tenda darurat saja," katanya.
Sementara itu, Salat Ied di Sembalun Lawang akan digelar di SDN 3 Sembalun Lawang, SDN 2 Sembalun Lawang dan Posko Utama pengungsian di Lapangan umum Sembalun serta Posko Sanjang.
Baca juga: Kerugian gempa Lombok diperkirakan Rp7,7 triliun
Baca juga: BNPB: Inpres dorong percepatan penanggulangan gempa Lombok
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018