Sudah lebih dari tiga minggu Adi Kurniawan bersama keluarga dan tetangganya tinggal di dalam tenda sejak gempa menerjang Lombok, Nusa Tenggara Barat dan sekitarnya.Bahkan ada orang kaya yang meninggalkan rumahnya untuk pergi ke Malang, Jawa Timur."
Rumahnya masih berdiri, tetapi sudah retak-retak. Sementara itu, beberapa rumah tetangga dan kerabatnya sudah ada yang roboh.
Meskipun rumahnya masih berdiri, dia tidak berani untuk tinggal di rumah itu. Dia khawatir gempa datang lagi sewaktu-waktu kemudian rumahnya roboh.
"Lebih baik roboh sekalian daripada cuma retak begitu. Kalau masih berdiri begitu, kami melihatnya juga serba salah. Mau masuk pun tidak berani," katanya.
Adi merupakan salah satu warga Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur yang terdampak gempa Lombok dan sekitarnya.
Kini dia bersama enam kepala keluarga lainnya tinggal di dalam tenda terpal. Di dalam tenda terpal itu terdapat beberapa tenda lagi yang lebih kecil yang menjadi tempat tidur anak-anak bersama ibunya.
"Supaya anak-anak tidak kedinginan. Ini juga anak saya sudah mulai pilek," kata Adi sembari menunjuk anaknya yang berumur 1,5 tahun.
Saat itu, anak Adi dan beberapa anak lainnya terlihat sedang menikmati melinjo rebus. Tidak henti-henti mereka mengambil dan mengunyah biji melinjo yang kulitnya berwarna merah itu dari dua buah piring.
"Kami baru saja makan siang. Melinjo ini untuk cemilan anak-anak, supaya mereka senang," ujarnya.
Di dalam tenda terpal yang ditinggal Adi dan beberapa orang lainnya, selain terdapat tenda-tenda kecil, juga terlihat ada beberapa perabot rumah yang tampaknya berhasil diselamatkan dari reruntuhan rumah.
Terlihat beberapa lemari kecil dan sebuah televisi. Beruntung instalasi listrik tidak terputus seluruhnya, sehingga mereka masih bisa mendapatkan informasi dan hiburan dari televisi. Salah satu anak juga terlihat bermain menggunakan ponsel.
Meskipun masih ada aliran listrik, tetapi saat gempa 6,9 Skala Richter terjadi pada Minggu (19/8) malam, keadaan gelap gulita karena listrik terputus.
"Yang kami takutkan itu kalau gempa terjadi malam hari karena suasana gelap," jelasnya.
Sejak gempa terjadi pertama kali di Lombok pada Minggu (29/7) dengan kekuatan 6,4 Skala Richter. Adi bersama kerabat dan tetangganya sudah mulai menempati tenda-tenda karena khawatir rumahnya roboh.
Awalnya, mereka membangun tenda di sebuah tanah kosong di dekat pekuburan. Karena anak-anak mereka tidak tenang, akhirnya mereka pindah menempati kebun bawang milik salah satu warga.
Sebagian besar masyarakat Desa Sajang memang bertani dan berkebun. Mereka menanam bawang merah, bawang putih dan sayuran lainnya. Sebagian lagi bekerja sebagai pemandu bagi pelancong yang ingin naik ke Gunung Rinjani.
Saat ditanya apakah mereka sudah menerima bantuan, Adi mengatakan mereka sempat menerima bantuan setelah gempa pertama kali terjadi.
Saat itu, bantuan datang dari Mataram dan Lombok Tengah cukup banyak sampai bertumpuk. Ketika gempa terjadi lagi dan Lombok Utara keadaannya lebih parah mereka pun membantu dengan mengirimkan bantuan yang sebelumnya mereka simpan.
Desa Sajang memang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lombok Utara di sebelah Barat.
"Mereka lebih membutuhkan daripada kami," ujarnya.
Setelah persediaan bantuan habis, mereka pun menghidupi diri dengan berbelanja bahan makanan menggunakan uang simpanan mereka. Mereka berbelanja di pasar yang ada di Sembalun.
"Itu pun harga-harga sudah mulai naik karena persediaan menipis," katanya.
Untuk ketersediaan air, mereka membuat sebuah bak darurat yang dilapisi terpal. Bila ada bantuan air dikirim, mereka isi bak darurat. Ada kalanya mereka membeli air. Satu bak penuh dihargai Rp100 ribu.
Reruntuhan
Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur merupakan wilayah yang terdampak gempa paling parah. Beberapa rumah dan bangunan roboh. Hampir satu bulan sejak gempa pertama, masih banyak reruntuhan yang belum dibersihkan.
Pada Selasa (21/8), di beberapa titik terlihat alat-alat berat bersama beberapa orang berseragam militer yang membersihkan puing-puing rumah warga. Di beberapa titik lainnya juga terlihat ada bekas rumah warga yang sudah bersih.
Bambang Noor, salah satu warga Mataram, mengatakan kebanyakan rumah-rumah di Lombok memang rancangannya tidak tahan gempa. Untuk menghemat biaya, biasanya dinding rumah dibangun dengan campuran kapur.
"Kalau yang anggarannya cukup, tidak akan dicampur kapur, hanya pasir dan semen," jelasnya.
Karena dicampur kapur, dinding rumah-rumah kebanyakan warga Lombok menjadi tidak kuat.
"Jangankan terkena gempa, kita memasang paku saja rontok," ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan Komandan Posko Induk Aksi Cepat Tanggap Nusa Tenggara Barat Sutaryo. Kabupaten Lombok Utara, yang terdampak gempa paling parah, merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia.
"Tingkat kemiskinan di Lombok Utara 34 persen. Itu pun sudah berhasil diturunkan oleh bupati saat ini. Sebelumnya kemiskinan mencapai 45 persen," katanya.
Karena itu, tidak mengherankan bila warga membangun rumah dengan anggaran yang terbatas, kemudian tidak tahan gempa.
Sutaryo mengatakan yang paling terdampak gempa adalah warga miskin. Warga miskin tida berdaya menghadapi gempa, berbeda dengan warga yang lebih berkecukupan yang bisa mengungsi ke tempat lain yang lebih aman.
"Bahkan ada orang kaya yang meninggalkan rumahnya untuk pergi ke Malang, Jawa Timur," jelasnya.
Menyusuri jalan utama sepanjang Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur, akan banyak ditemui rumah-rumah dan bangunan runtuh.
Bangunan-bangunan megah seperti masjid-masjid pun terkena dampak gempa. Ada masjid yang roboh seluruhnya, ada yang patah di bagian kubahnya, ada pula yang patah di bagian menaranya.
Selain khawatir tertimpa bangunan roboh, warga juga masih memerlukan bantuan. Di sepanjang jalan utama, tidak terhitung bekas spanduk, papan kayu ataupun kertas yang ditulisi warga untuk meminta bantuan.
Tulisan "kami perlu bantuan", "perlu makanan dan minuman" dan "perlu air bersih" banyak ditemui di pinggir jalan utama.
Baca juga: Wapres: Pemerintah sanggup atasi gempa Lombok
Oleh Dewanto Samodro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018