Analis Perlindungan Bentang Alam dari Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), Riswan Zein dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan, kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser.
Ini karena pembangunan PLTA yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tersebut dinilai akan merusak habitat gajah Sumatera, mengancam kelangsungan hidup dan mata pencarian penduduk yang hidup di hilir sungai Tamiang serta melanggar aturan perizinan.
Menurut Riswan, Lembah Sungai Lesten yang akan digenangi waduk merupakan koridor jelajah yang sangat penting untuk populasi gajah Sumatera. Koridor tersebut akan putus total karena topografi yang sangat terjal, hal ini akan mendorong populasi ini ke arah kepunahan.
Selain dampak ekologis, Riswan menambahkan ada beberapa risiko sosial dan bencana yang akan timbul akibat pembangunan PLTA.
"Menurut dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang dikeluarkan oleh PT. Kamirzu, luas genangan diperkirakan mencapai 4.090 hektare (ha) dan untuk memenuhi genangan seluas area tersebut membutuhkan waktu hingga satu tahun, sudah bisa dipastikan 50 persen desa yang berada di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang akan mengalami kekeringan hebat selama kurun waktu tersebut," ungkap Riswan.
Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi untuk jebol dan menelan banyak korban jiwa hingga membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir.
"Tercatat secara historis telah terjadi beberapa gempa besar, sekitar 6.0 Skala Richter (SR) di sekitar lokasi bendungan. Semakin tinggi bendungan menahan tekanan air dalam jumlah besar akan semakin berisiko untuk jebol dan membanjiri masyarakat yang hidup di hilir, kita tentu tidak menginginkan bencana jebolnya bendungan yang terjadi di Laos pada bulan Juli 2018 lalu terjadi juga di Indonesia," lanjutnya.
Langgar aturan perizinan
Tidak hanya merusak dan berpotensi menimbulkan bencana, rencana pembangunan PLTA Tampur ini juga menuai polemik terkait proses perizinan.
Tim Legal Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (Haka) M Fahmi mengatakan bahwa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang digunakan oleh PT. Kamirzu dinilai tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Permen LHK) tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, IPPKH hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri berdasarkan permohonan.
Dalam aturan tersebut Menteri memang bisa memberikan kewenangan kepada gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, tapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat nonkomersial dengan luas paling banyak lima hektare.
Sementara itu, warga Aceh Tamiang yang memulai petisi "Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa" di laman Change.org. bernama Matsum mengatakan masyarakat yang tinggal di hilir sungai Tamiang mulai merasa cemas menanggapi rencana pembangunan PLTA Tampur ini.
Masyarakat Tamiang trauma dengan kejadian banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang di 2006. "Bukannya kami antipembangunan, hanya saja jangan disitu, masih banyak tempat-tempat lain yang bisa menghasilkan listrik tanpa merusak hutan dan menimbulkan bencana," ujar Matsum.
Petisi yang dibuat Matsum ini dapat dilihat pada tautan change.org/TolakPLTATampur dan sudah mendapatkan lebih dari 5.000 dukungan yang terus bertambah.
Baca juga: Sejumlah hutan lindung di Aceh terancam gundul
Baca juga: Populasi gajah sumatera susut bersama menyempitnya hutan
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018