Jakarta (ANTARA News) - Ada kekhawatiran di tengah orang tua jaman sekarang tentang dampak permainan video (video game) bagi perkembangan anak.Ketika melihat seseorang kecanduan game itu masih bisa diselamatkan dengan pola pikir untuk eSports selain membutuhkan kebugaran fisik, mental juga kepintaran akademik,"
Belum terjawab tuntas pertanyaan mereka, kini muncul istilah baru yaitu eSport, yaitu kompetisi permainan video yang umumnya dilakukan oleh para pemain profesional dan menawarkan hadiah yang besar.
Kenapa memakai istilah eSports? Betul eSports itu olahraga?
Betul karena industri baru tersebut menjadi cabang permainan eksebisi di pesta olahraga Asian Games 2018 baru-baru ini.
Di mata Anna Surti Ariyani, psikolog anak dan keluarga, bermain permainan video dan munculnya industri olahraga elektronik sebenarnya bisa membantu perkembangan anak dan remaja jika dilakukan dengan benar.
"Ketika kita menjalankan eSports ini secara serius, sebetulnya kita membantu anak-anak terutama remaja untuk bisa mendapatkan manfaat dari sana. Ada manfaat untuk perkembangan kognitif dan juga perkembangan emosional dan sosial," kata Anna ketika jadi pembicara di peluncuran liga eSports antar anak SMA HSL 2018 di Jakarta, Kamis.
Anna mengungkapkan bahwa di sisi perkembangan kognitif, menurut penelitian, permainan video bisa membantu meningkatkan kemampuan visual anak.
Alasannya, ketika bermain permainan video, mereka dituntut untuk memahami medan permainan lewat peta. Anak yang terbiasa melihat dan mengelola peta bisa mengalami peningkatan kemampuan visual mereka.
Selain itu, anak juga dilatih untuk memiliki kemampuan mengambil keputusan yang strategis, misalnya, ketika bermain mereka harus memilih karakter yang cocok untuk tingkat kesulitan permainan yang berbeda.
Permainan video juga bisa melatih anak mengenal pola dan melatih mereka memiliki kemampuan pertukaran antar tugas yang semakin efektif.
Di dalam permainan video yang dilakukan oleh tim, fokus seorang pemain terkadang dialihkan ketika membantu rekannya yang mengalami kesulitan atau tersudut oleh lawan. Setelah menuntaskan masalah tersebut, dia kemudian kembali menjalankan tugas dan misinya kembali sebagai anggota tim.
Jika anak tak terbiasa dengan pertukaran tugas itu, maka akan perlu waktu lama untuk memusatkan perhatian mereka, kata Anna.
Ketika bermain DOTA atau World of Warcraft misalnya, pemain bisa mengklik mouse ribuan kali. Itu bisa dilakukan terutama jika pemain memiliki kondisi fisik yang prima.
Sejumlah jurnal ternyata juga memiliki kesimpulan jika menggeluti permainan video, anak bisa mengalami peningkatan koordinasi mata-tangan, dan kendali motor ketangkasan, ungkap Anna.
Kemudian anak juga dilatih untuk memiliki kemampuan perencanaan dan pelaksanaan ketika bermain. "Itu menjadi hal penting," kata Anna.
Kemampuan konsentrasi sebenarnya juga meningkat karena mau tak mau anak harus konsentrasi ketika bermain.
Ketika bermain, komunikasi reseptif dan ekspresif dilatih ketika anak menangkap sesuatu yang menarik dan bagaimana dia menyampaikannya ke rekannya.
Sejauh ini dunia psikologi bisa memaparkan manfaat dari permainan video. Namun yang paling banyak dikhawatirkan oleh orang tua dan juga guru adalah bagaimana jika nanti anak-anak mereka kecanduan permainan video?
Untuk bisa mendapat manfaat itu semua sebenarnya jangan kecanduan tapi lakukan beberapa hal penting seperti makan sehat, istirahat cukup, olahraga fisik, disiplin, tekun berlatih, tetapkan target yang jelas dan jangan lupa menjalin relasi dengan sesama pemain seprofesi maupun mereka yang tak terkait.
Anna lebih lanjut mengatakan ada perbedaan antara anak yang menggeluti eSports dan yang alami kecanduan permainan video walaupun para peneliti masih meneliti lebih lanjut.
Esports memiliki disiplin yang jelas serta target yang terukur misalnya untuk meraih medali atau hadiah, sementara bagi mereka di luar profesi atlet eSport, bermain permainan video tergantung suasana hati dan tidak memiliki target tertentu karena terkadang dilakukan hanya untuk mengatasi kebosanan atau yang penting dia main.
Selain itu, menekuni eSports tujuannya adalah produktif dan bisa menghasilkan uang, sedangkan bermain permainan video pada umumnya cenderung bersifat konsumtif.
Lalu apa yang bisa dilakukan orang tua dan juga sekolah supaya bisa mendukung eSports sekaligus mencegah kecanduan game?
"Jalin hubungan yang mesra, karena ini akan menjadi dasar hubungan antara orang tua dan remaja, lancarkan komunikasi yang terbuka," kata Anna.
"Kemudian jaga disiplin dalam rutinitas harian, jadi tetap mandi iya, makan iya," kata dia.
Tak sedikit anak yang kecanduan permainan video melupakan kebutuhan dasar harian itu, sementara seorang atlet eSports tetap harus menjaga kondisi badannya karena jika terlalu lelah maka itu bisa mempengaruhi performanya.
Orang tua dan anak juga harus sepakati batasan yang jelas. Misalnya jika nilai akademis anak kurang, maka dia tidak dibolehkan terlalu lama bermain, atau dikurangi jam bermain permainan videonya.
"Pastikan anak remaja berprestasi di sekolah dan juga bergaul," kata Anna. Bergaul dalam artian tidak hanya bergaul dengan mereka yang menggeluti permainan video tetapi dengan orang pada umumnya di lingkungan dia.
Dengan itu, anak akan termotivasi untuk terlibat banyak variasi aktifitas karena mereka membutuhkan hal itu. Variasi aktifitas juga bisa membantu anak untuk membina dan menjaga relasi.
Gisma Priayudha, seorang komentator eSport yang juga berkecimpung sebagai penyelenggara turnamen olahraga elektronik mengungkapkan bahwa eSports bisa menjadi tombak untuk menyelamatkan anak-anak agar tidak kecanduan permainan video.
"Ketika melihat seseorang kecanduan game itu masih bisa diselamatkan dengan pola pikir untuk eSports selain membutuhkan kebugaran fisik, mental juga kepintaran akademik," kata Gisma yang juga project creator kompetisi HSL 2018 itu.
Menjadi seorang atlet profesional eSports yang bisa berlatih hingga delapan jam sehari pada dasarnya membutuhkan semua indikator itu.
Lalu tidak sembarangan siswa bisa mengikuti kompetisi HSL 2018 tersebut karena ada persyaratan akademik tertentu yang harus dipenuhi oleh para peserta.
"Visi misi kita adalah mencari bibit pemain eSport yang memiliki nilai akademik yang baik agar ke depan masalah fisik dan otak menjadi nomor satu untuk pengembangan eSports di Indonesia," kata Gisma.
Selain untuk menjaring bibit atlet eSport, kompetisi tersebut diharapkan bisa memberikan kesempatan untuk sekolah-sekolah di Indonesia agar membuka ruang didiknya untuk kegiatan eSports sebagai salah satu mata pelajaran ekstrakurikuler nantinya.
Setelah mendapat pengakuan internasional, adalah definisi yang menyebutkan bahwa eSports itu olahraga. Tidak salah juga eSports itu permainan yang menjadi hobi yang menghasilkan.
Mendidik anak agar memiliki prestasi akademik yang baik adalah tugas yang tidak mudah bagi orang tua maupun guru, juga mendidik masyarakat agar tidak terjebak stigma negatif eSports masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Baca juga: HSL 2018 jaring bibit atlet eSports Indonesia
Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018