Jakarta (ANTARA News) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai alokasi pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk menutup defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat menimbulkan sesat pikir di masyarakat.Itu adalah sebuah ajakan yang sesat pikir
"Timbul paradigma keliru di masyarakat bahwa aktivitas merokok diasumsikan sebagai bentuk bantuan kepada pemerintah dan BPJS Kesehatan agar tidak defisit," kata Tulus, di Jakarta, Kamis.
Tulus mengatakan keputusan pemerintah mengalokasikan pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk menutup defisit BPJS Kesehatan telah membuat para perokok merasa sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Bahkan, seorang ketua sebuah organisasi kepemudaan sampai mengeluarkan pernyataan untuk mengajak masyarakat agar terus merokok guna membantu pemerintah.
"Itu adalah sebuah ajakan yang sesat pikir," ujar Tulus.
Menurut Tulus, alokasi pajak rokok atau cukai hasil tembakau untuk BPJS Kesehatan sebenarnya bisa dimengerti. Sebagai barang kena cukai, sebagian dananya memang layak dikembalikan untuk menangani dampak negatif rokok.
"Namun, hal itu tidak bisa dilakukan serampangan karena bisa menimbulkan sejumlah ironi yang justru kontraproduktif bagi masyarakat dan BPJS Kesehatan," katanya.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR tentang defisit BPJS Kesehatan, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan pemerintah telah melakukan beberapa upaya melalui berbagai kebijakan.
Salah satunya memanfaatkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222 Tahun 2017 dan pajak rokok melalui peraturan presiden yang baru saja ditandatangani presiden.
Baca juga: Penjelasan Jokowi soal cukai rokok untuk layanan kesehatan
Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan: Defisit ini belum sampai puncaknya
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018