"Ini ide yang win-win, karena mengatasi masalah jangka pendek dan tidak menambah beban industri," ujar Yustinus dalam keterangan yang diterima di Jakarta, kemarin.
Ia menjelaskan, perpres tersebut melakukan earmarking yaitu anggaran yang penerimaan maupun pengeluarannya secara spesifik sudah ditentukan.
Dari satu batang harga rokok yang dibeli, di dalamnya ada pungutan yang dibayar konsumen, dua di antaranya adalah Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Pajak Rokok. Dari pungutan CHT yang dibayar, dua persennya diberikan kepada provinsi yang penggunaannya di-earmark sesuai UU Cukai No. 39 Tahun 2007 Pasal 66 ayat 1. Dalam pelaksanaan, dana earmark tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Begitu pula dengan pungutan pajak rokok, berdasarkan Pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pungutan atas pajak rokok di-earmark paling sedikit sebesar 50 persen digunakan untuk mendanai program kesehatan. Sedangkan dalam alokasinya, ditentukan oleh Menteri Kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Namun, lanjut Yustinus, dalam pelaksanaanya masih banyak permasalahan dalam implementasi dana earmarking baik Dana Bagi Hasil (DBH) CHT dan Pajak Rokok mulai dari masalah administrasi sampai permasalahan pengawasan. Tak pelak, penggunaan dari dana DBH CHT dan Pajak Rokok masih belum optimal. Disaat yang sama terdapat masalah pendanaan BPJS.
"Oleh karenanya, menjadikan DBH CHT dan Pajak Rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS merupakan solusi yang tepat dan cermat," kata Yustinus yang juga merupakan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) itu.
Untuk merealisasikannya, Pemerintah melalui Menteri Kesehatan menerbitkan Permenkes No.53/2017 yang mengatur 75 persen dari earmark 50 persen pajak rokok untuk pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Baca juga: YLKI sebut pajak rokok - BPJS timbulkan sesat pikir
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2018