Peraturan rujukan berobat persulit warga

23 September 2018 07:54 WIB
Peraturan rujukan berobat persulit warga
Warga mendaftar menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jumat (21/9/2018). Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan mengeluarkan dana cadangan APBN untuk menutupi defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebesar Rp4,9 triliun. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

Saya menduga akan banyak antrean di berbagai tempat pelayanan kesehatan.

Surabaya, (ANTARA News) - Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jatim menilai peraturan baru yang diterapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Kesehatan mengenai rujukan berobat harus melalui rumah sakit tipe D sebelum ke tipe C, B dan A mempersulit warga.

Ketua Persi Jatim Dodo Anondo, di Surabaya, Minggu, mengatakan peraturan baru ini nantinya akan menambah sulit masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatannya.

"Saya menduga akan banyak antrean di berbagai tempat pelayanan kesehatan," katanya.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Tahun 2018, rujukan berobat harus melalui rumah sakit tipe D sebelum ke tipe C, B dan A. Padahal sebelumnya masyarakat bisa memilih rumah sakit rujukan yang dekat dengan tempat tinggalnya.

"Dengan adanya mekanisme baru ini membuat pasien harus menempuh rujukan yang panjang. ini seperti model layanan kesehatan model shopping," katanya.

Dodo memberi contoh misalnya ada pasien yang tinggal di sekitar Jalan Klampis Surabaya. Kalau menganut mekanisme baru, pasien itu tidak bisa dirujuk ke RS Haji yang dekat dengan rumahnya seperti sebelumnya karena bukan rumah sakit tipe D.

Kalaupun nanti dirujuk ke RS Haji oleh rumah sakit yang tipenya lebih rendah, maka pasien kembali menjalani pemeriksaan medis mulai dari awal karena rumah sakit rujukan ini tidak mempunyai rekam medis pasien.

Mekanisme baru ini tidak hanya berdampak kepada pasien peserta BPJS Kesehatan, melainkan juga terhadap rumah sakit. "Pasien di rumah sakit tipe D dan C akan membludak. Sedangkan di tipe B ini akan kekurangan pasien," ujarnya.

Kalau sudah begitu, lanjut dia, akan berpengaruh pada operasional, obat akan banyak yang tidak terpakai. Parahnya lagi pihak distributor obat akan mengunci pasokan obat.

"Kondisi ini akan mengancam keberlangsungan operasional rumah sakit. Kalau rumah sakit itu milik pemerintah tidak akan terlalu berdampak. Tapi kebanyakan rumah sakit tipe B itu milik swasta, " ujarnya.

Dodo menyayangkan aturan baru oleh BPJS yang diberlakukan dengan cepat tanpa sosialisasi dan simulasi. Apalagi aturan ini menabrak peraturan menteri kesehatan.

"Seharusnya semua stake holder bisa berjalan beriringan supaya tidak menyulitkan masyarakat," katanya.

Menurut Dodo, Persi sekarang meyerahkan persoalan ini ke Kementerian Kesehatan RI dan Dinas Kesehatan di daerah untuk mencari solusi.

"Mungkin nanti rumah sakit tipe D akan ditambah. Berikut jumlah dokter spesialisnya, atau mungkin jam operasional juga ditambah untuk mengantisipasi membludaknya jumlah pasien," katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rahmanita sebelumnya meminta Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan meninjau ulang mekanisme pelayanan kesehatan berupa rujuk berobat karena dinilai membebani masyarakat dan rumah sakit.

"Peraturan baru ini berimbas kepada pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit, termasuk di Kota Surabaya," katanya.

Menurut dia, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah mengirimkan surat kepada Kementerian Kesehatan dan Direktur Utama BPJS agar meninjau ulang mekanisme pelayanan rujuk berobat.

Ia mengatakan di Kota Surabaya jumlah rumah sakit tipe D hanya sebanyak sembilan rumah sakit, tipe C sebanyak 10, tipe B 11 rumah sakit dan tipe A ada dua rumah sakit, yakni Rumah sakit Dr. Soetomo dan RSAL.

Ia menjelaskan setiap hari jumlah pasien yang berobat di puskesmas sekitar 100-400 pasien. Jika dirata-rata tiap hari, ada 200 pasien yang berobat di 63 puskesmas yang ada di Kota Pahlawan ini.

"Itu artinya sekitar 12 ribu hingga 24 ribu pasien yang membutuhkan pelayanan di fasilitas kesehatan di tingkat satu," ujarnya.

Ia khawatir dengan jumlah yang relatif besar tersebut tak mampu dilayani oleh rumah sakit tipe D karena di rumah sakit tersebut jumlah tenaga dokter dan jenis pelayanannya juga terbatas.

"Di tipe D jumlah dokter yang menangani penyakit tertentu biasanya 1-2 orang," ujarnya.*


Baca juga: Perpres Pajak Rokok tepat untuk jangka pendek, kata pengamat

Baca juga: Mardiasmo sebut suntikan dana BPJS segera cair


 

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018