LSM: hanya tiga dari 50 sumur bor berfungsi

2 Oktober 2018 18:50 WIB
LSM:  hanya tiga dari 50 sumur bor berfungsi
Warga Desa Peduli Gambut di Kalimantan Tengah mengikuti diskusi tentang pembuatan hingga perawatan sekat kanal lahan gambut pada Jambore Masyarakat Gambut 2018 di Banjar, Kalimantan Selatan, Senin (30/4/2018). (Foto Antara/Virna Puspa Setyorini)

Saat ini sumur-sumur bor tersebut terbengkalai karena ketidakjelasan wewenang dalam pemanfaatannya

Jakarta (ANTARA News) - Pantau Gambut, yang merupakan koalisi 23 lembaga swadaya masyarakat (LSM)  yang berfokus memantau restorasi dan perlindungan gambut di Indonesia, menyayangkan atas temuan lapangan di mana hanya tiga dari 50 sumur bor di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, yang berfungsi baik.

"Saat ini sumur-sumur bor tersebut terbengkalai karena ketidakjelasan wewenang dalam pemanfaatannya dan sebagiannya lagi terdampak pembangunan jalan dan perluasan bandara," kata Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Muhammad Teguh Surya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.

Sebanyak 50 sumur bor di kawasan Banjarbaru yang dibangun pada 2016 merupakan hasil kerja sama antara BRG melalui Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Kalsel dengan LPPM Universitas Lambung Mangkurat.

Sumur-sumur bor itu tersebar di dua kecamatan, yaitu Syamsudin Noor dan Guntung Payung, yang berlokasi dekat dengan Bandara Syamsudin Noor.

Sumur-sumur bor itu tidak terletak di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang menjadi prioritas restorasi gambut di Kalimantan Selatan.

Teguh mempertanyakan penentuan lokasi pembangunan proyek sumur bor, proses pembangunan dan kontraktor sumur bor yang berujung pada tidak maksimalnya fungsi sumur bor.

Dia mengatakan seharusnya sumur bor itu dipastikan dapat berfungsi dan menyediakan air apalagi saat musim kemarau seperti ini di mana lahan dan hutan akan rentan terbakar.

Koordinator Simpul Jaringan Jambi Feri Irawan menambahkan kualitas peralatan untuk infrastruktur gambut harus diperhatikan dan diperiksa untuk menjamin alat berfungsi sesuai kebutuhan.

Dia mencontohkan pihaknya menemukan masalah di mana selang yang dipasang ke sumber air mudah lepas. Kemudian, saat melakukan penyemprotan, air sulit keluar. 

"Alat-alat juga berpengaruh pada pemadaman api dan membasahi gambut. Kalau mau kasih proyek alatnya harus terjamin kualitasnya, jangan yang biasa-biasa tapi tidak berfungsi dengan baik," ujarnya.

Kepala Sub Pokja Kemitraan, Resolusi Konflik dan Pegaduan Badan Restorasi Gambut (BRG) Eko Novi Setiawan mengatakan pihaknya terus melakukan upaya-upaya untuk penanganan restorasi gambut.

Dia mengajak semua pihak untuk terlibat dalam memulihkan ekosistem gambut dan mencegah karhutla.

"Mari kita awasi restorasi ini bersama-sama," ujarnya.

Dia juga mengatakan pihaknya terbuka bagi masukan positif untuk perbaikan internal BRG dan upaya-upaya dalam mempercepat restorasi gambut.

Hingga akhir 2017, Badan Restorasi Gambut (BRG) menyatakan telah melakukan program pembasahan terhadap 200.000 hektar.

Pada Januari 2018, BRG mengklaim pencapaian restorasi gambut seluas 1,2 juta hektar hingga akhir 2017.

Pemerintah Indonesia menargetkan hingga 2020, seluas 2,49 juta hektar lahan gambut direstorasi di tujuh provinsi yakni Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua dan Papua Barat.

Baca juga: LSM: Sebagian besar Karhutla terjadi di area moratorium

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018