• Beranda
  • Berita
  • Berjuang hidup di tengah kepungan reruntuhan Balaroa

Berjuang hidup di tengah kepungan reruntuhan Balaroa

9 Oktober 2018 11:22 WIB
Berjuang hidup di tengah kepungan reruntuhan Balaroa
Warga mencari barang-barang yang masih bisa diselamatkan di serakan rumah yang terseret lebih dari 1,5 kilometer dan tertimbun lumpur akibat liquifaksi tanah pascagempa di Desa Langaleso, Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (8/10/2018). Liquifaksi adalah proses pencairan yang mengakibatkan hilangnya kekuatan tanah dan menimbun benda-benda yang ada di atasnya. Liquifaksi tanah ini terjadi setelah gempa berkekuatan 7,4 SR mengguncang Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/ama
Minggu, 30 September, pukul 03.00 dini hari, suasana kantor Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), terlihat sangat sibuk pascagempa disertai tsunami menerjang sebagian kota dan sekitarnya berkekuatan 7,4 magnitudo pada Jumat petang, 28 September 2018.

Sejumlah orang berdatangan mencari nama saudara, sanak keluarga dan kerabatnya berharap tertulis pada kertas A0 berisi informasi dipasang di dalam kantor, ada atau tidak, sebab pascagempa mereka tidak diketahui keberadaannya keluarganya.

Bahkan, banyak diantara mereka meminta tolong segera mengevakuasi jenazah orang terjebak di reruntuhan bangunan, namun hanya didata karena terlalu banyak permintaan, sementara personil sangat kurang. 

Kantor Basarnas Palu bermarkas di jalan Elang, malam itu satu-satunya bercahaya karena menggunakan genset, sementara bangunan dan rumah-rumah di sekitarnya padam akibat aliran listrik dan komunikasi terputus.

Sesekali penerangan muncul dari balik lampu kendaraan yang melintas di jalan raya setempat menerangi puluhan orang duduk dipinggir jalan menunggu kejelasan pertolongan keluarganya.

Pasukan berbaju orange ini terlihat mondar-mandir, ada yang baru tiba dan adapun bersiap untuk melakukan upaya penyelamatan. Dari laporan masih ada korban hidup di Perumnas Balaroa, Palu Barat, tim langsung bersiap.

Mendapat instruksi atas laporan masyarakat itu, korban selamat tetapi terjebak di dalam reruntuhan bangunan, satu tim kecil Basarnas diterjunkan melakukan survei sekaligus memberi pertolongan pertama menggunakan kendaraan pick up menuju lokasi. 

Tim pertama bergerak menelusuri kota yang sudah mati tanpa penerangan dan mengikutkan dua orang wartawan. Di perjalanan terlihat warga korban gempa berada di pinggiran jalan dan tanah lapang memasang tenda-tenda sebagai tempat bernaung.

Penduduk kota kelihatan takut berada di dalam rumahnya, karena trauma sering terjadi getaran gempa susulan yang masih aktif sesekali pada malam hari.

Dalam keadaan gelap gulita, tim kemudian masuk ke lokasi mengunakan senter serta helm senter kepala menyusuri tanah yang sudah longsor dan pada bagian lain sudah menjadi perbukitan.

Terdengar suara sayup-sayup orang minta tolong, tetapi tidak jelas posisinya dimana, sebab dini hari itu keadaan sangat mencekam dan gelap gulita, reruntuhan dimana-mana. Tim Basarnas meminta agar fokus, tidak terpengaruh suara-suara tersebut, membuat keadaan semakin merinding dan tegang.

Sekitar pukul 03.20 WIB, posisi titik korban ditemukan masih selamat. Observasi langsung dilakukan dengan mengupayakan korban tetap bernafas dan sesekali diajak berbicara agar tetap sadar. Waktu terasa sangat lambat hingga akhirnya fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Terlihat jelas seluruh lokasi tersebut amblas sedalam lima meter, sebagian jalanan berubah menjadi bukit, rumah-rumah rata dengan tanah, puluhan kendaraan roda dua dan empat dan perabot rumah posisinya tidak karuan.

Satu masjid ambruk dan hanya menyisakan kubah juga menaranya, bau sisa kebakaran masih terasa, orang-orang juga mulai nampak. Pagi itu, tim kedua Basarnas tiba di lokasi untuk membantu proses evakuasi.

Korban diketahui bernama Nurul Istihara, pelajar berumur 15 tahun. Dia sesekali membuka lalu menutup matanya akibat kelelahan. Sudah dua hari berjuang hidup karena separuh badannya tertanam di dalam tanah berdampingan dengan jasad ibunya, Risni (37) dengan posisi berdiri, meninggal sehari sebelumnya.

Terlihat jelas bekas sisa nasi di piring dengan lauk telur dadar, beserta botol mineral disamping korban seusai disuapi ayahnya, Yusuf (41) yang berusaha agar anaknya tetap hidup di tengah reuntuhan bangunan Perumnas Balaroa, Kelurahan Balaroa, Palu Barat, Provinsi Sulteng.

Posisi korban terperosok dan terperangkap di dalam tanah bersamaan bangunan, atap rumah sudah sejajar dengan tanah, sebagaian lokasi menjadi bukit akibat pencairan tanah atau Likuifaksi saat terjadi gempa berkekuatan 7,4 magnitudo lebih besar dari gempa Lombok.

Penderitaan Nurul semakin bertambah, dimana tempat dia terperangkap terbentuk kubangan, air PAM yang bocor terkumpulsetinggi satu setengah meter hingga terus naik di lehernya, namun dia tetap bertahan.

Beruntung, ada mesin genset sebagai penolong digunakan menghisap air, agar tidak menenggelamkannya. Meski diisap menggunakan mesin, air malah tak kunjung berkurang. Tim Basarnas terus berpikir bagaimana cara mengevakuasi korban agar tetap selamat.

Satu anggota berusaha mengajak Nurul bicara dengan memegang kepalanya sembari memberi semangat. Kedua tangan Nurul yang sudah keriput memeluk kaki anggota Basarnas, sesekali diberikan air minum agar tidak dehidrasi ditengah teriknya panas matahari yang menyegat.?

Sementara anggota lainnya berjibaku menguras air menggunakan ember bekas cat, sedangkan lainnya membuatkan bendungan kecil agar air tidak kembali ke kubangan.

"Saya mau tidur, pulang semua, apa kalian bikin dari rumah saya, jangan ganggu, saya mau tidur, pergi sana semua saja," tutur Nurul berhalusinasi, kala itu sedang lemas kepada anggota Basarnas mengajaknya berbicara, di saat bersamaan penulis juga berada di lokasi.

Sulitnya medan tidak meruntuhkan semangat tim Basarnas, berbagai cara dilakukan agar anak ini selamat. Korban terjepit batu bersama almarhumah ibunya sehingga batu tersebut harus dikeluarkan. Banyak orang datang hanya melihat-lihat dan tidak membantu.

Orang-orang ini sibuk mencari keluarga mereka yang tertimbun reruntuhan bangunan rumah, sebagian lainnya hanya melihat-lihat puing-puing reruntuhan akibat gempa, sambil berfoto-foto. Evakuasi Nurul berjalan selama 14 jam lebih dan berlangsung dramatis.

Air perlahan mulai surut, anggota Basarnas langsung menggali untuk memindahkan batu tersebut, lalu mengangkat korban selanjutnya beserta mayat ibunya. Ternyata, di bawah Nurul masih ada puluhan jasad lainnya yang tertimbun.

Nurul selamat dan dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis, mengingat kondisi tubuhnya sangat lemah, tangan dan kakinya berkeriput, badan keram akibat terjepit dan terendam air selama dua hari. Begitupun jasad ibunya dimasukkan dalam kantong mayat lalu dibawa ke rumah sakit setempat.

Usai Nurul dievakuasi, berselang beberapa saat, Presiden Joko Widodo tiba-tiba datang mengunjungi lokasi Balaroa yang amblas itu. Presiden melihat langsung dampak ditimbulkan gempa, selanjutnya mengistruksikan segera memberikan pertolongan bagi korban pascagempa.

Cerita Ayah Korban

Yusuf, ayah dari Nurul Istihara, korban selamat menceritakan kenapa dirinya sampai selamat saat terjadi gempa. Siang itu, sudah ada tanda-tanda getaran-getaran hingga menjelang sore. Dirinya berada di rumah tetangga bersebelahan dengan rumahnya saat gempa berlangsung delapan detik.

 "Saya di sebelah rumah, tiba-tiba terjadi goyangan sangat keras seperti diguncang, orang semua berlarian keluar, saya pun ikut berlari keluar menyelamatkan diri, saya lihat tanah tiba-tiba turun dan seolah menelan rumah-rumah disini begitu cepat, saya baru sadar ada keluarga di dalam," ucapnya.

Kejadian itu, saat masuk waktu Magrib, listrik padam, ditambah suasana mencekam orang-orang panik dan tidak bisa berbuat apa hanya pasrah. Orang-orang kebingungan, menangis berteriak bahkan masuk kedalam lokasi mencari keluarganya.

Usai gempa, dia memberanikan diri mencari keluarganya, meski secara perlahan-lahan langit mulai gelap. Selang beberapa saat dia menemukan anak dan istrinya, kendati satu anaknya yang lain sudah hilang.

"Saya mendapati anak dan istri saya masih hidup, tapi terjepit dan tertanam sebagian badannya di tanah. Saya berusaha menghibur mereka agar tetap kuat sambil mencari bantuan. Tetapi, tuhan berkata lain istri saya hanya bertahan enam jam saja lalu meninggal," tuturnya sedih. 

Yusuf sempat kesulitan mencari bantuan untuk menyelamatkan keluarganya, beberapa keluarga tidak secara penuh membantu menjaga anaknya selama mencari pertolongan, jaringan komunikasi putus, Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat sulit begitu pun air minum.

"Saya sudah dua kali ke Basarnas untuk meminta pertolongan agar anak saya dievakuasi segera, tapi belum digubris karena tenaga kurang. Nanti permintaan yang ketiga ini baru direspon pada hari Minggu. Saya bersyukur anak saya masih bisa diselamatkan," ucapnya.

Dia menuturkan  anaknya bertahan karena dipaksa makan dan minum olehnya. Beberapa orang yang menjaganya saat dia pergi mencari pertolongan, juga ikut meninggalkan korban yang saat itu sedang kritis. Yusuf terus berdoa agar anaknya selamat.

"Sudah dua hari saya tidak tidur menjaga anak saya di sini, banyak orang maupun keluarga diminta bantuan hanya menjaganya sebentar, ketika saya pergi, mereka jaga sebentar lalu pergi. Saya memaklumi mereka juga mencari keluarganya yang hilang. Ada ratusan orang tertimbun disini," katanya.

Pasca dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Anuta Pura, Palu, kondisi Nurul Istihara berangsur-angsur membaik, dia ditangani oleh tim medis untuk pemulihan, kendati belum sembuh sepenuhnya Nurul selanjutnya di rujuk ke Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, Sulawesi Selatan, guna mendapatkan perawatan intensif.

Nurul bersama puluhan pasien korban gempa diterbangkan menggunakan pesawat Hercules pada hari kelima setelah gempa disertai tsunami yang meluluhlantahkan sebagian daerah terdampak masing-masing Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi, Sulteng. 

"Seluruh korban telah ditangani dengan baik, saat ini sudah ada 11 rumah sakit sudah beroperasi. Meski Rumah Sakit Anuta Pura belum maksimal karena sebagian bangunan runtuh, tetapi di bangun tenda sementara di depan rumah sakit untuk melayani pasien," kata Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto, di Palu.

Terbatas

Kepala Bidang Operasi Basarnas, Brigjen Bambang Suryo, mengatakan optimistis operasi tanggap darurat pascagempa di Palu, Donggala dan Sigi diupayakan semaksimal mungkin, meskipun sumber daya manusia terbatas sejak awal masa pencarian dan evakuasi.

"Kami berusaha semaksimal mungkin berbuat untuk para korban, meski kami kekurangan sumber daya, masyarakat diminta bersabar karena kami terus bekerja walaupun personil terbatas. Bantuan personil dari luar daerah serta relawan juga mulai berdatangan membantu," ujarnya.

?Saat ini personil Basarnas terus bertambah, TNI juga dikerahkan untuk membantu proses evakuasi korban, alat berat diturunkan, berbeda kondisinya di hari kedua dan ketiga pascagempa, sumber daya kurang sementara permintaan evakuasi terhadap korban sangat tinggi. Sehingga yang diprioritaskan kala itu korban masih hidup.

Untuk lokasi paling parah diterjang gempa diwilayah kota Palu, yakni Perumnas Balaroa, hotel Roa-roa, hotel Mercure, hotel de Syah, Anjungan pantai Talise, Mal Tatura. Di Kabupaten Sigi yakni perumahah wilayah Petobo, dan Kabupaten Donggala di wilayah Sirenja dan sekitarnya.

Berdasarkan data per tanggal 7 Oktober 2018, korban meninggal dunia mencapai 1.944 orang, luka 2.549 orang, hilang 683 orang, tertimbun 152 orang. Jumlah pengungsi sebanyak 74.444 jiwa dan rumah rusak 65.733 unit. Pemakaman massal total 1.120 orang di dua tempat yakni Paboya dan Pantoloan.

Baca juga: Memulai pemulihan industri pascagempa Palu
 

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018