Nusa Dua (ANTARA News) - Bank Indonesia mengatakan masifnya pendanaan infrastruktur dari pihak swasta akan turut menimbulkan risiko, di antarnya risiko kerugian kurs, namun hal tersebut akan diantisipasi dengan diversifikasi produk lindung nilai atau hedging."Salah satu komitmen Bank Sentral dalam hal infrastruktur untuk memastikan manajemen risiko pasar dalam pembiayaan"
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Forum Infrastruktur Indonesia di rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia, di Nusa Dua, Bali, Selasa, mengatakan dengan penerapan paradigma baru pembangunan infrastruktur yang akan lebih banyak melibatkan swasta, akan terdapat risiko dari sisi kurs, risiko likuiditas, dan juga risiko suku bunga.
Risiko tersebut akan dihadapi oleh swasta, terutama yang menarik pinjaman valuta asing dalam jumlah besar untuk mendanai infrastruktur.
"Salah satu komitmen Bank Sentral dalam hal infrastruktur untuk memastikan manajemen risiko pasar dalam pembiayaan. Jangan lupa, Kita sudah maju dalam foreign exchange swap (penukaran valas dengan rupiah)," kata Perry dalam forum yang akan melibatkan 21 BUMN untuk menyerap investasi sekitar Rp200 triliun sebagai pendanaan infrastruktur.
Perry mengatakan upaya terbaru lindung nilai utang valas swasta juga telah lahir dengan adanya pasar valas berjangka domestik (Domestik Non-Deliverable Forwatrds/DNDF). Transaksi DNDF mengakomodir pihak swasta untuk melakukan transaksi derivatif valuta asing (valas) terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) berupa transaksi forward (berjangka) dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik dengan denomasi rupiah.
"Kami sudah kenalkan DNDF sebagai instrumen untuk meningkatkan manajemen risiko mata uang," ujarnya.
Untuk memitigasi risiko suku bunga (interest risk) dari penarikan valas, Perry mengatakan, Bank Sentral sedang mengembangkan Overnight Index Swap (OIS) yang akan menjadi acuan suku bunga untuk transaksi keuangan. Pembentukkan OIS setelah penerapan suku bunga pasar uang tenor satu hari, Indonia, benar-benar menjadi acuan pelaku pasar.
"Nanti akan ada acuan untuk tenor satu bulan, tiga bulan, dan seterusnya," ujar dia.
Untuk risiko likuiditas, Bank Sentral bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan. Salah satu upayanya dengan meningkatkan frekuensi pembukaan transaksi repo bagi perbankan untuk menjaga kondisi likuiditasnya.
Ketua DK OJK Wimboh Santoso mengatakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur Indonesia yang mencapai sekitar Rp5.500 triliun selama 2014-2019, tidak memungkinkan hanya mengandalkan kredit dari perbankan. Maka itu perlu model pembiayaan baru, seperti sekuritisasi aset, ataupun obligasi hijau.
"Kreasi pendalaman sektor keuangan harus dipercepat," ujar Wimboh.
Baca juga: IMF-WB - Menkeu: Perubahan paradigma pembiayaan infrastruktur butuh stabilitas makro
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018