Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong penggunaan teknologi finansial (fintech) sebagai platform inklusi keuangan dalam meningkatkan akses pendanaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan keuangan syariah dengan tetap memitigasi risiko guna mengedepankan perlindungan konsumen.Fintech memiliki kekuatan penetrasi besar yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat
"Fintech memiliki kekuatan penetrasi besar yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang tidak memiliki akses keuangan yang tepat serta untuk UMKM," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida dalam pembukaan seminar OJK Fintech Talk: Utilizing Fintech as a Platform for Platform for Enhancing SMEs and Islamic Financing di Bali, Jumat.
Menurut Nurhaida, fintech memiliki tingkat penetrasi yang tinggi yang dapat menjangkau berbagai lapisan masyasrakat terutama bagi segmen yang tidak memiliki akses luas terhadap keuangan seperti UMKM.
Ia juga mengatakan, mempertimbangkan masih rendahnya penetrasi keuangan syariah di Indonesia, fintech juga dapat digunakan sebagai alat untuk memperluas cakupan keuangan syariah dan pencapaian untuk mewujudkan tujuan keuangan syariah.
"Dengan layanan dan produknya yang lebih mudah, fintech dapat mendorong industri keuangan Islam maju dan mengatasi masalah yang telah menghambat pertumbuhan keuangan syariah," katanya.
Untuk mendukung pengembangan fintech, OJK sudah mengeluarkan berbagai ketentuan pengaturan dan pengawasan dengan tetap mengedepankan perlindungan konsumen dan menjaga stabilitas keuangan.
OJK telah mendirikan fintech center yang dinamakan OJK Infinity (Innovation Center for Digital Financial Technology) yang bertujuan menjadi ekosistem untuk tempat berdiskusi antarpelaku dan regulator serta stakeholders. Fintech center juga tempat untuk melakukan regulatory sandbox dan pusat keilmuan "fintech".
Berdasarkan Fintech Report 2017, menurut OJK, terdapat 196 fintech rintisan di Indonesia dengan total investasi mencapai 176,75 juta dolar AS dan produk serta bisnis model yang baru.
Hal yang sama terlihat dalam perkembangan model fintech" jenis peer to peer lending di Indonesia yang sampai Agustus 2018 mencapai 70 perusahaan dengan akumulasi nilai pinjaman Rp11,68 triliun atau tumbuh 355,73 persen year to date (ytd).
Jumlah rekening pemberi pinjaman sebanyak 150.061 entitas atau tumbuh 48,66 persen ytd dan rekening peminjam mencapai 1.846.273 entitas atau tumbuh 611,10 persen ytd.
Menurut OJK, segmen UMKM memiliki peran besar dalam perekonomian negara berkembang karena mencakup 60 persen dari lapangan pekerjaan dan memberikan kontribusi hingga 40 persen dari produk domestic bruto (PDB).
Baca juga: OJK sepakati kerja sama "fintech" dengan otoritas Singapura
Baca juga: Peluncuran "Bali Fintech Agenda" untuk pengembangan teknologi finansial
Di Indonesia, berdasarkan data 2016, 99 persen perusahaan terkategorikan UMKM, mencakup 89 persen dari lapangan pekerjaan dan memberikan kontribusi 57 persen terhadap PDB negara.
Gambaran ini menunjukkan potensi dari segmen tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun secara umum, segmen UMKM dikategorikan sebagai unbankable karena keterbatasan akan jaminan, sehingga akses terhadap pendanaan merupakan kendala utama bagi pertumbuhan ke depan.
Sementara keuangan syariah merupakan salah satu cara pendaanan alternatif yang semakin menarik perhatian dalam menjawab kesenjangan pembiayaan (financing gap) karena mengedepankan standar etika dan sosial yang bersifat tanggung renteng di mana manfaat dan resiko dapat dibagi secara proposional di antara pihak terkait dalam transaksi pendanaannya.
Indonesia telah memiliki beberapa catatan pencapaian dalam keuangan syariah di mana Indonesia merupakan negara pertama yang menerbitkan Sukuk Retail dan mendirikan lembaga pendanaan mikro baitul maal wat tamwil.
Walaupun demikian, perkembangan keuangan syariah di Indonesia yang merupakan salah satu dari 10 negara dengan potensi ekonomi Islam terbesar, belum terasa optimal.
Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018