• Beranda
  • Berita
  • BMKG dorong pemerintah Sulteng revisi tata ruang

BMKG dorong pemerintah Sulteng revisi tata ruang

19 Oktober 2018 18:52 WIB
BMKG dorong pemerintah Sulteng revisi tata ruang
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati memberikan penjelasan mengenai penanganan gempa dan tsunami yang terjadi di Sulteng saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/10/2018). Rapat dengar pendapat tersebut antara lain membahas masalah peralatan deteksi tsunami yang rusak serta anggaran BMKG dan Basarnas. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/kye
Jakarta  (ANTARA News) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendorong Pemerintah Sulawesi Tengah merevisi tata ruang wilayah di kawasan rawan bencana guna mengurangi risiko kerugian materil dan korban jiwa akibat bencana alam yang mengintai Sulawesi Tengah.

"Revisi ini perlu segera dilakukan agar dampak dari kejadian yang lalu tidak terulang kembali. Bukan cuma Sulawesi Tengah, tapi juga wilayah lain di Indonesia yang masuk dalam kategori rawan bencana alam," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati seperti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Dwikorita mengatakan penataan ruang memiliki peran besar dalam upaya mitigasi bencana. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengatur pengendalian dan pemanfaatan sebuah kawasan apakah layak dijadikan tempat pemukiman atau tidak.

Oleh karena itu, dalam perencanaan tata ruang hendaknya mempertimbangkan peta bencana, khususnya kondisi kerentanan tanah terhadap gempa, likuifaksi dan longsoran serta banjir bandang di wilayah tersebut.

Jangan sampai, tambah dia, atas dasar kebutuhan tempat tinggal penduduk atau motif ekonomi politik, wilayah yang seharusnya tidak ditinggali justru menjadi kawasan pemukiman padat penduduk. Menurutnya, perlu pengawasan ketat agar rencana tata ruang tersebut benar-benar dijadikan acuan dalam rencana pembangunan.

"BMKG juga merekomendasikan pembangunan fasilitas perlindungan tsunami di kawasan pantai Sulteng. Fasilitas tersebut untuk memberi rasa aman dan nyaman kepada masyarakat serta mengurangi resiko dari bencana tsunami itu," ujarnya.

Dwikorita melakukan kunjungan pemantauan kerentanan kegempaan di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat. Dalam kunjungan kerjanya, ia menyambangi sejumlah titik kerusakan akibat gempa dan tsunami antara lain Pantai Talise, Perumnas Balaroa, Palu Grand Mall & Grand Mercure Hotel.

Sementara itu, Kepala Stasiun Geofisika Palu, Sulawesi Tengah Cahyo menerangkan bahwa Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu dan Donggala adalah kawasan rawan gempa dan tsunami.

Sebelum Tsunami Donggala September lalu, berdasarkan data yang dimiliki BMKG, di Sulawesi Tengah pernah terjadi sekurangnya lima kali gempa yang disusul oleh tsunami.

Gempa dan tsunami tersebut masing-masing terjadi pada 1921, 1927, 1938, 1968, dan tahun 1966. Seluruh gempa berkekuatan diatas enam magnitudo, sementara tinggi tsunami berkisar satu hingga 15 meter.

Tsunami Donggala yang lalu dipicu oleh longsoran dasar laut akibat gempa bumi Donggala dengan jenis mekanisme gempa bumi mendatar mengiri (sinistral).

"Berdasarkan bukti-bukti di lapangan diketahui bahwa patahan gempa berasal dari daratan menyilang hingga ke lautan mulai dari Labean hingga ke ujung Teluk Palu. Patahan membelah lautan Teluk Palu menyebabkan tanah tenggelam (amblas) sehingga merubah batimetri (kedalaman laut-red) yang asalnya dangkal berubah menjadi dalam," papar Cahyo

Cahyo mengatakan dari hasil survey yang dilakukan BMKG setelah gempa dan tsunami menerjang, diketahui bahwa ketinggian dan jarak terjangan tsunami bervariasi antara satu titik dengan titik lainnya.

Hal tersebut dimungkinkan akibat kelandaian pantai dan bangunan penghalang atau keberadaan dataran tinggi. Tim survey BMKG sendiri melakukan observasi lapangan dan wawancara di 27 titik berbeda sepanjang Teluk Palu sejak tanggal 29 September lalu.

Mulai dari Donggala sebelah Barat, Kota Palu, Donggala Timur dan Utara serta Labean titik terdekat dengan pusat gempabumi.

Sebagai contoh, lanjut Cahyo, Pelabuhan Pantoloan dengan tinggi tsunami menjadi 10,2 meter menerjang hingga jarak 216 meter masuk ke daratan dari bibir pantai. Sedangkan di Tondo, Palu tinggi tsunami yang mencapai 10,7 meter mampu menerjang daratan sejauh 165 meter.

"Jarak terjangan tsunami terjauh adalah di kawasan Hotel Mercure, Palu yang mencapai 468,8 meter dari bibir pantai padahal tinggi tsunami hanya 9,2 meter," ujarnya.

Cahyo mengungkapkan, hasil survey inilah yang menjadi dasar BMKG mendorong Pemerintah Sulteng untuk merevisi Tata Ruang dan Wilayah di wilayahnya. Tidak hanya itu, BMKG berharap Pemerintah Sulteng bisa terus berupaya meningkatkan mitigasi bencana dengan mengedukasi masyarakat setempat untuk tetap waspada dan siap menghadapi bencana.

Baca juga: BMKG pasang 20 sensor portabel di Sulawesi
Baca juga: BMKG: waspadai potensi banjir bandang di Sulteng

 

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018