Hampir di setiap kesempatan, Gubernur Kalimantan Selatan terus menyosialisasikan program tersebut, untuk mengajak masyarakat Kalsel bangkit dari keterpurukan setelah anjloknya harga tambang batu bara dari sebelumya 150 dolar/ton menjadi hanya 50 dolar/ton.
Anjloknya harga tambang batu bara, seakan menggulung perekonomian Kalsel, yang awalnya mencapai di atas 7 persen, menjadi hanya 3,5 persen. Saat itu, perekonomian masyarakat daerah tambang, terutama dari Kabupaten Tanah Bumbu, Tapin, Tabalong dan lainnya, terpuruk.
Kondisi tersebut, banyak berpengaruh terhadap ekonomi Kalsel secara luas, baik itu sektor riil maupun jasa. Banyak rumah dan mobil dijual, warung makan, tempat kontrakan dan lainnya menjadi tutup. Sesaat, kala itu, perekonomian Kalsel yang awalnya penuh kemilau dan pesta pora, mendadak menjadi suram.
Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran, terutama disekor tambang batu bara terjadi, juga di beberapa perusahaan terkait. Sektor perhotelan, perjalan wisata, hiburan, juga mendadak banyak kehilangan konsumen. Penjualan barang-barang mewah dan perhiasan, juga mendadak sepi.
Dampak yang paling menyedihkan, kini banyak lubang-lubang tambang yang dibiarkan pemiliknya begitu saja, tanpa upaya reklamasi.
Melihat kondisi tersebut, seakan menyadarkan seluruh pihak, betapa pembangunan ekonomi yang menggantungkan sektor sumber daya alam, tidaklah bisa bertahan lama sehingga Pemerintah Kalsel berupaya berjuang membalikkan keadaan, dengan mengejar ketertinggalan pembangunan sektor pertanian, pariwisata, olahraga, pendidikan, industri, infrastruktur dan lainnya melalui berbagai program.
Kini, hampir seluruh kabupaten dan kota, berlomba mencari peluang untuk pengembangan sektor pertanian dan pariwisata, melalui peningkatan pembangunan infrastruktur di segala bidang. Potensi pertanian, yang awalnya tidak mendapatkan perhatian, kini terus dikembangkan besar-besaran.
Bahkan, peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-38 di Kalsel, menjadi momentum dan tekad warga Kalsel, untuk menjadikan daerah ini sebagai lumbungan pangan nasional dan tujuan wisata 2020. Selain itu, melalui gerakan revolusi hijau, pemerintah bertekad untuk memperbaiki lingkungan yang rusak, akibat kesalahan masa lalu, yang membiarkan sektor tambang merajai seluruh kawasan hutan di daerah ini.
Putusan PTUN
Di tengah semangat seluruh komponen masyarakat Kalsel, yang ingin melepaskan diri dari ketergantungan terhadap tambang batu bara, justru tantangan besar muncul.
Perjuangan masyarakat Kalsel, khususnya warga Hulu Sungai Tengah (HST) bersama Wahana Lingkungan Hidup, untuk mempertahankan Pegunungan Meratus dari masuknya pertambangan, seakan mendapatkan jalan buntu. Pasalnya, majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama PTUN Jakarta Timur (Jaktim) menolak gugatan Walhi Kalsel kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia.
Walhi meminta, agar pemerintah mencabut izin penambangan batu bara PT Mantimin Mining Coal (MMC) di wilayah Pegunungan Meratus - Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel. Dalam gugatan, Walhi meminta, agar Kementerian ESDM mencabut izin penambangan dari perusahaan pemegang Pernjanjian Kerja sama Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tersebut, yang menambang di gugusan Meratus "Bumi Murakata" HST.
Dikhawatirkan, bila terjadi penambangan pada gugus Meratus HST bisa menambah kerusakan lingkungan dan mengakibatkan bencana banjir. Dampak lain dari penambangan tersebut bisa menghilangkan atau mengurangi sumber daya air yang menjadi kebutuhan makhluk hidup, termasuk manusia.
Pegunungan Meratus di HST, saat ini merupakan satu-satunya wilayah pegunungan di Kalsel, yang masih selamat dari pertambangan batu bara, karena masyarakat sangat kuat menjaganya.
Disadari bahwa sektor pertambangan telah terbukti merusak lingkungan. Namun, ibarat berani melepas kepalanya namun tetap memegang buntutnya, pemerintah hingga kini tetap menjadikan pertambangan sebagai andalan. Hingga saat ini, sektor pertambangan masih menjadi salah satu andalan pendapatan daerah, dengan kontribusi pendapatan yang mencapai 24 persen.
Jumlah tersebut, cukup besar dan masih menjadi salah satu pendapatan utama pemerintah pusat maupun daerah, sehingga diharapkan seluruh kebijakan yang dibuat, tidak akan mengganggu investasi.
Atas nama investasi tersebut, seakan pemerintah kembali gamang untuk bersikap tegas, menolak tambang terutama di daerah Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, satu-satunya daerah yang masih terjaga dari pertambangan.
Saat ini lokasi pertambangan yang ditolak oleh masyarakat dan pemerintah daerah, masuk dalam kawasan perencanaan pertambangan nasional sehingga pemerintah daerah maupun provinsi tidak bisa dengan semena-mena menolak pertambangan di daerah.
Hal yang paling tepat yang bisa dilakukan pemerintah daerah adalah, meminta agar pemerintah pusat melakukan kajian ulang terhadap pemberian perizinan tersebut, berdasarkan data konkret yang disampaikan.
Ditolaknya gugatan tersebut, dikhawatirkan akan membuat "kecanduan" masyarakat terhadap tambang, yang kini mulai sembuh, bakal kembali kambuh, yang akan berakibat fatal, terhadap kondisi lingkungan Kalsel.
Tambang, terbukti telah mampu membawa stigma bagi masyarakat nasional, bahwa setiap orang Kalsel hidup sejahtera dengan kekayaan melimpah. Jangan sampai karena tambang juga, masyarakat Kalsel akan mengalami penderitaan tidak berkesudahan, akibat kehancuran lingkungan yang tidak terkendali.
Pengelolaan tambang secara bijaksana dan tidak membabi buta harus mulai terus disadari oleh seluruh pihak terkait, baik pemerintah, perusahaan,maupun masyarakat.
Baca juga: 45 persen sungai di Kalimantan Selatan berpotensi tercemar
Pewarta: Ulul Maskuriah
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018