• Beranda
  • Berita
  • Pakar: masyarakat Pulau Buru jangan konsumsi kepala ikan beracun

Pakar: masyarakat Pulau Buru jangan konsumsi kepala ikan beracun

27 Oktober 2018 22:37 WIB
Pakar: masyarakat Pulau Buru jangan konsumsi kepala ikan beracun
Kerusakan Lingkungan Gunung Botak Ratusan kolam rendaman material tercampur sianida dan merkuri yang ditinggalkan ribuan penambang di daerah aliran sungai (DAS) Anahoni kawasan pertambangan ilegal Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, Rabu (18/11). DAS Anahoni yang bermuara di Teluk Kaiely, Pulau Buru merupakan daerah terparah kerusakannya akibat penambangan emas ilegal sejak tahun 2011 oleh ribuan penambang menggunakan sianida dan merkuri melebihi ambang batas. (ANTARA FOTO/Jimmy Ayal)

Setelah mengendap di daerah hutan mangrove, endapan lumpur mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) itu dimakan mikroba-mikroba kecil, plankton dan zooplankton, dan selanjutnya terjadilah proses rantai makanan yang berujung dimakan kepiting, ikan

Ambon, (ANTARA News) - Pakar kimia dan lingkungan Universitas Pattimura elahnpatti) Ambon, Dr Justinus Male mengingatkan masyarakat Maluku, khususnya di Pulau Buru dan Pulau Ambonagar, jangan mengonsumsi kepala maupun tulang ikan karena sudah mengandung bahan beracun mercuri dan sianida.

"Bahan beracun seperti mercuri dan sianida itu biasanya mengendap di dalam sumsum tulang dan kepala ikan, sehingga kebiasaan mengonsumsi bagian ikan ini akan berbahaya untuk jangka panjang," kata Justinus, di Ambon, Provinsi Maluku, Sabtu.

Peringatan yang disampaikan pakar lingkungan dan kimia itu bukan tanpa alasan, sebab hasil penelitian terhadap sejumlah sampel ikan, baik yang diambil dari pasar di Namlea, Kabupaten Buru maupun di perairan laut Latuhalat, Pulau Ambon sudah tercemar merkuri dan sianida.

Penelitian ini sudah dilakukan sejak 2015, setelah maraknya aktivitas penambangan emas ilegal di Gunung Botak, Gogorea, dan Anahoni yang menggunakan berton-ton mercuri dan sianida.

Langkah ini diambil Justinus dengan mengumpulkan dana sendiri melalui penjualan bazar roti karena tidak ada dukungan dana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dan Pemerintah Kabupaten Buru.

Menurut dia, limbah-limbah beracun dan berbahaya ini dibuang ke Sungai anahoni dan Waeapu, selanjutnya mengalir sampai ke kawasan Teluk Kayeli yang banyak dikelilingi hutan mangrove (bakau).
 

Setelah mengendap di daerah hutan mangrove, endapan lumpur mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) itu dimakan mikroba-mikroba kecil, plankton dan zooplankton, dan selanjutnya terjadilah proses rantai makanan yang berujung dimakan kepiting, ikan kecil dan ikan besar sampai akhirnya dikonsumsi manusia.

"Ikan dari perairan laut di sekitar Teluk Kayeli ini tidak selamanya menetap di sana, namun bermigrasi dan menyebar ke mana-mana sehingga kondisi seperti inilah yang membahayakan kesehatan manusia," tandasnya.

Karena itu, masyarakat diingatkan kalau membeli ikan segar di pasar, haruslah membuang kepala dan tulang serta isi perutnya karena di situlah mengedap bahan beracun mematikan, demikian Justinus Male.

Baca juga: Kemenkes akan tingkatkan layanan RS Pulau Buru

Pewarta: Daniel Leonard
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2018