Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, Din menjawab pertanyaan mengenai persoalan Islam di Timteng ketika menjadi pembicara di Konferensi Enriching the Middle East's Economic Future pada 30-31 Oktober 2018.
Menurut dia, keberagamaan umat Islam di Timur Tengah berkutat pada keyakinan dan peribadatan, tapi belum menjadi paradigma etika.
Diakuinya juga, agama, khususnya Islam, berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Timteng tapi belum maksimal diperankan sebagai faktor pendorong ekonomi.
Islam di Timteng, kata dia, belum ditampilkan sebagai sumber etika pembangunan ekonomi, sebagaimana etika Protestan yang mendorong kemajuan Eropa dan etika Konghucu ditengarai menjadi faktor pendorong kebangkitan China dan Asia Timur.
Umat Islam, kata dia, juga belum berhasil meraih supremasi ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti di masa lalu pada abad-abad pertengahan yang membawa dunia Islam (oleh Arab dan Persia) menjadi pemegang supremasi peradaban dunia.
Tanpa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, lanjut dia, maka mustahil umat Islam meraih kemajuan.
Din yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia mengatakan negara-negara Arab terjebak pada egosentrisme primordial etnik kesukuan sehingga kurang mampu menampilkan Islam sebagai faktor pemersatu di antara mereka.
Guru Besar Politik Islam Global di FISIP dan Program Pascasarjana UIN Jakarta itu meminta masyarakat global khususnya Barat tidak menjadikan kondisi tersebut sebagai sasaran Proxy War (perang dengan menggunakan pihak ketiga) dan membuatnya jadi ladang perang saudara.
Karena, kata dia, konflik di Timteng membawa efek pada dunia Islam dan dunia pada umumnya.
Baca juga: MUI minta masyarakat utamakan persaudaraan Islam dalam Pemilu 2019
Baca juga: KTT OKI - Indonesia diyakini dapat tingkatkan kesatuan negara-negara Islam
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018